TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas menganggap revisi Undang-Undang KPK merupakan penganiayaan politik. Busyro pun turut mempertanyakan maksud dan tujuan revisi tersebut mengingat UU KPK sudah direvisi sebanyak 14 kali.
“Revisi KPK harus disikapi secara suuzon. Sebab, kalau berprasangka baik, malah nanti banyak mudaratnya,” katanya dalam acara diskusi “Quo Vadis KPK? Masa Depan Pemberantasan Korupsi” di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Senin, 14 Desember 2015.
Menurut Busyro, kondisi politik dan hukum di Indonesia saat ini tidak memungkinkan membuat dia berprasangka baik terhadap revisi UU KPK. “Ini bukan cuma penganiayaan politik, tapi juga kekerasan politik. Jangan paksakan revisi UU KPK,” ucapnya.
Busyro mengatakan KPK telah mengawasi sektor-sektor strategis sejak 2008, yakni sektor ketahanan energi, ketahanan pangan, dan pajak. Sektor-sektor tersebut merupakan pilar bagi pengembangan ekonomi Indonesia. Karena itu, ada sejumlah pihak yang risi dan ingin mengebiri kewenangan KPK.
Dia menyebutkan ada tiga kelompok utama yang merasa terganggu oleh KPK dan gencar menyuarakan revisi tersebut. Kelompok tersebut, kata dia, antara lain birokrat yang korup, pebisnis yang busuk, dan politikus yang tunamoral.
Dalam rapat pembahasan usul perubahan atas UU KPK yang diselenggarakan DPR pada awal Oktober lalu, disebutkan KPK hanya berusia 12 tahun. Pembatasan masa kerja KPK itu tertulis dalam Pasal 5 RUU KPK yang menyatakan KPK dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang itu diundangkan.
Selain itu, dalam draf revisi disebutkan KPK lebih difungsikan sebagai lembaga pencegahan korupsi, bukan penindakan korupsi. Berikutnya, draf revisi menyebutkan KPK hanya bisa menangani kasus korupsi dengan nilai kerugian minimal Rp 50 miliar.
DPR juga mengusulkan agar mengangkat empat anggota dewan eksekutif untuk bertugas sebagai pelaksana harian pimpinan KPK. Berikutnya, parlemen mengusulkan agar kewenangan penuntutan dan penyelidik KPK harus atas usul kepolisian serta kejaksaan.
Penyadapan yang dilakukan KPK juga harus seizin ketua pengadilan negeri. Usul lainnya adalah KPK hanya diberi kewenangan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Dalam undang-undang saat ini, KPK tak boleh mengeluarkan SP3.
BAGUS PRASETIYO