TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto seringkali dikaitkan dalam berbagai kasus hukum. Baru-baru ini, politikus partai Golkar ini juga dipersoalkan karena melakukan lobi kontroversi.
Senin kemarin, dia dilaporkan Menteri Energi Sumber daya Mineral Sudirman Said kepada Majelis Kehormatan Dewan DPR karena diduga mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk meminta saham ke PT Freeport. (Lihat video Jusuf Kalla Dukung Setya Novanto Dilaporkan ke Polisi, Selain Setya Novanto, Ada Orang Lain Ikut dalam Lobi Freeport)
Berikut catatan lobi-lobi kontroversi yang dilakukan Setya Novanto:
Bertemu Donald Trump di Amerika Serikat
Pada 3 September 2015, Setya Novanto menghadiri acara sumpah kesetiaan kandidat Presiden Amerika Serikat dari kubu Republik, Donald Trump. Saat itu, dia didampingi oleh Wakilnya, Fadli Zon.
Wajahnya terekam di sejumlah media massa. Langkahnya itu menuai kritik karena dianggap melampaui kewenangan dan protokolernya sebagai Ketua DPR. Dia dilaporkan ke Majelis Kehormatan DPR.
Setya mengaku tujuannya ke sana untuk kepentingan perekonomian dalam negeri, tentang bisnis dan investasi Trump di Indonesia. Setya mengklaim mendapat respons positif dari Pengusaha yang tergabung dalam US-ASEAN Business Council.
Dia mengaku mengajak para pengusaha itu berinvestasi di Indonesia. Setya mengklaim bertemu dengan beberapa pengusaha Coca-Cola, Phillip Morris, Facebook, Conoco Phillips, dan Apple. "Karena tugas DPR juga bantu pemerintah, fungsi DPR lakukan diplomasi politik dan ekonomi," ucap Setya.
Lobi Pembelian Pesawat Jepang
Kabar ini muncul setelah The Japan Times, edisi 12 November 2015 menulis lawatan Setya Novanto ke Jepang. Dalam lawatannya Setya mengatakan kepada Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe jika Indonesia mempertimbangkan pembelian US-2 sebagai sinyal kerja sama pertahanan kedua negara.
Dalam artikel ditulis wacana pembelian pesawat buatan pabrikan ShinMaywa tersebut merupakan jawaban Indonesia atas kebijakan China di Laut China Selatan. ShinMaywa US-2 merupakan pesawat amfibi yang biasa digunakan untuk keperluan SAR. Angkatan Bersenjata Jepang saat ini merupakan satu-satu pengguna pesawat amfibi tersebut.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon, membantah soal kabar tersebut. Fadli mengatakan, pembicaraan yang dilakukan rombongan DPR dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe soal pesawat amfibi hanya bersifat normatif tanpa ada unsur lobi.
Lobi PT Freeport
Sepak terjang Setya Novanto kembali membuat geger. Pada Senin, 17 November 2015, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said melaporkan politikus Golkar itu ke Mahkamah Kehormatan Dewan.
Dia dilaporkan karena menjanjikan perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam leporannya, melampirkan bukti berupa transkrip rekaman percakapan Setya, seorang pengusaha, dengan bos Freeport Indonesia.
Dalam laporan, Setya disebut sudah beberapa kali bertemu dengan pimpinan PT Freeport. Pada pertemuan ketiga yang digelar 8 Juni 2015 di Pacific Place, Jakarta, Setya menjanjikan bisa memperpanjang kontrak Freeport yang berakhir pada 2021 dengan mulus.
Sebagai imbalan, dia meminta 20 persen saham yang akan dibagikan kepada Presiden Jokowi sebanyak 11 persen dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebanyak 9 persen. Untuk dirinya sendiri, Setya meminta 49 persen saham proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air Urumuka di Paniai, Papua.
Setya membantah soal tudingan hal itu. "Saya tidak pernah membawa-bawa nama presiden ataupun Pak Wapres karena yang saya lakukan adalah yang terbaik untuk kepentingan bangsa dan negara dan untuk kepentingan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Papua," kata Setya Novanto di Kompleks Kantor Wakil Presiden, Senin, 16 November 2015.
Intervensi ke PT Pertamina
Selain kasus catut nama, beredar kopi surat berkop DPR dari Setya Novanto kepada Direktur Utama PT Pertamina Dwi Soetjipto. Dalam surat tertanggal 17 Oktober 2015 itu, Setya Novanto meminta PT Pertamina membayar biaya penyimpanan bahan bakar minyak (BBM) pada PT Orbit Terminal Merak (OTM) di mana selama ini, PT Pertamina menyimpan bahan bakar di perusahaan tersebut.
Setya Novanto melampirkan sejumlah dokumen, diantaranya notulensi rapat negosiasi awal antara Pertamina dan PT Orbit Terminal Merah, soal penyesuaian kapasitas tangki timbun di PT Orbit Terminal Merak, dan surat review kerja sama pemanfaatan terminal BBM Merak.
Dalam surat itu, Setya Novanto juga menyinggung Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina Hanung Budya yang kini sebenarnya ditempati Ahmad Bambang.
"Sesuai dengan pembicaraan terdahulu dan informasi dari bapak Hanung Budya Direktur Pemasaran dan Niaga, sekiranya kami dapat dibantu mengenai addendum perjanjian jasa penerimaan, penyimpanan dan penyerahan Bahan Bakar Minyak di Terminal Bahan Bakar Minyak antara PT pertamina (Persero) dengan PT Orbit Terminal Merak yang sudah bapak terima beberapa minggu lalu," tulis surat Setya Novanto tersebut.
Kepala Bagian Tata Usaha Ketua DPR RI Hani Tapahari, yang bertanggung jawab terhadap arus surat keluar masuk dari dan kepada Ketua DPR, menyatakan surat tersebut palsu. "Surat ini tidak pernah kami kenal karena tidak mempunyai nomor surat, juga tidak ada tanda tangan Ketua DPR RI. Sehingga kami nyatakan ini surat palsu," kata Hani.
ANGGA | DANNI | PDAT