TEMPO.CO, Jakarta - Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Masinton Pasaribu menilai adanya upaya penjegalan terhadap pencalonan kembali Tri Rismaharini sebagai calon wali kota Surabaya. Ia menduga upaya ini berlangsung secara sistematis sejak proses pendaftaran bakal calon walikota ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Seperti bakal calon yang tiba-tiba menghilang saat proses pendaftaran, kemudian partai-partai politik tidak mendaftarkan calonnya ke KPU yang berakibat hanya ada calon tunggal,” kata Masinton dalam rilis yang diterima Tempo, hari Sabtu, 24 Oktober 2015.
Masinton menyatakan ada kontroversi antara lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan dalam pengumuman status tersangka kepada Tri Rismaharini. Kejanggalan antara kepolisian dan kejaksaan itu terlihat ketika kedua lembaga memberikan keterangan yang berbeda terkait kasus yang menjerat Risma.
“Polda Jatim mengeluarkan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) pada tanggal 28 Mei 2015, kemudian pihak Kejati Jawa Timur mengklaim SPDP diterbitkan tertanggal 30 September 2015,” Masinton menerangkan.
Pengumuman status tersangka terhadap Tri Rismaharini telah menimbulkan keresahan baru di Surabaya akibat kecerobohan yang dilakukan aparat Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Khususnya jelang pemilihan Wali Kota Surabaya.
Masinton melihat bahwa kasus yang disangkakan kepada Tri Rismaharini semasa menjabat Wali Kota Surabaya adalah kebijakan untuk melindungi pedagang kecil dari permainan pengusaha yang mematok tarif sewa kios dari pedagang kecil dengan harga mahal agar bisa berjualan di Pasar Turi.
“Tanpa mencampuri ranah penegakan hukum. Namun harus kita ingatkan bersama agar aparat penegak hukum jangan ikut bermain politik dalam momen pilkada dengan mempolitisasi hokum,” pesan Masinton.
Masinton meminta Jaksa Agung dan Kapolri harus mengeluarkan himbauan kepada jajarannya di seluruh wilayah Kepolisian Daerah (Polda) maupun Kepolisian Resor (Polres) dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) serta Kejaksaan Negeri (Kejari) sebelum mengumumkan status hukum seseorang khususnya terhadap warga negara yang sedang menjadi calon kepala daerah.
“Harus mempertimbangkan aspek sosio-politik yang sedang berproses, seperti menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah,” kata dia.
Menurutnya, proses penegakan hukum yang menyangkut orang yg sedang mencalonkan sebagai calon kepala daerah bisa dilakukan usai pelaksanaan Pilkada selesai.
LARISSA HUDA
Baca juga:
Ribut Risma Tersangka: 5 Hal Ini Mungkin Anda Belum Tahu
Skandal Suap: Terkuak, Ini Cara Dewie Limpo Bujuk Menteri