TEMPO.CO, Purwokerto - Petani di Kabupaten Banyumas dan Purbalingga, Jawa Tengah, mulai menjual bongkahan tanah di sawahnya yang mengering. Saat ini sudah tak ada air untuk kebutuhan menanam padi sehingga bongkahan tanah itu dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
“Ratusan hektare sawah kami biarkan mengering karena sudah tak ada air,” kata Sarkoni, 45 tahun, petani Desa Brani, Kecamatan Rawalo, Banyumas, Kamis, 6 Agustus 2015.
Sarkoni mengatakan sebagian besar petani membiarkan sawahnya mengering karena untuk ditanami palawija saja tidak mungkin. Mereka pun terpaksa menjual bongkahan tanah sawah yang retak kepada pembuat batu bata.
Sarkoni mengungkapkan, harga tanah sawah sebesar Rp 100-200 ribu setiap truknya. “Kalau mobil pikap, harga tanahnya Rp 70 ribu. Sedangkan jika dengan menggunakan truk, harga bongkahan tanah kering mencapai Rp 100 ribu. Lumayan kalau dijual, karena saya tidak mendapatkan hasil pada musim kemarau sekarang ini,” katanya.
Sugianto, 50 tahun, petani di Desa Toyareka, Kemangkon, Purbalingga, melakukan hal yang sama. Tanah sawahnya terlihat retak-retak. Sudah sejak Juli lalu tanah sawah seluas 2.500 meter persegi itu sudah tak ia sentuh. Jangankan padi, rumput pun enggan tumbuh. Sawahnya sudah tak menghasilkan apa pun. “Daripada tanah dianggurkan, lebih baik saya gali dan dijual,” katanya.
Tanah digali dengan menggunakan linggis sedalam 50 sentimeter. Cangkul tak mampu menembus tanah yang sudah kelewat keras karena lama tak bersua dengan air. Setelah digali, tanah itu diangkut dengan truk. Jarak antara sawah dan truk sekitar 100 meter. Bolak-balik, Sugianto membawa tanah miliknya itu.
Mohammad Syafei, 50 tahun, pemilik usaha batu bata di desa yang sama, mengatakan banyak petani menjual tanahnya untuk pembuatan batu bata. “Kalau untuk bahan baku batu bata, pasokan melimpah,” kata Mohammad. Tapi, masalahnya, saat ini dia kesulitan memperoleh air untuk mengolah tanah itu menjadi batu bata.
ARIS ANDRIANTO