TEMPO.CO, Pontianak - Malam pergantian tahun baru Cina, Imlek, warga Singkawang selalu melewatkannya dengan berdoa di Klenteng leluhur. "Tidak semua memang mempunyai kelenteng keluarga. Tetapi biasanya, mereka akan berdoa di Klenteng atau Vihara di mana orang tertua mereka biasa bersembayang," kata Susi Wu, dari Lions Club Singkawang Kalbar Prima, sebuah organisasi sosial, Kamis, 19 Februari 2015.
Susi mengatakan, keluarganya memiliki tradisi berdoa di Klenteng leluhur yang tertelak di kebun keluarga, di Kaliasin. Tiap tahun, kata dia, cuaca seburuk apapun ritual bersembayang di Klenteng leluhur selalu dilakoni. Padahal, jarak Klenteng leluhur tersebut cukup jauh dan akses jalan sulit.
Dari perkampungan warga di Kaliasin, Klenteng terletak sejauh lima kilometer. "Medannya tadi cukup sulit, karena hujan. Kami berangkat jam 2 siang, pulang jam 5 sore. Cukup melelahkan namun hal ini dinanti," katanya.
Susi mengatakan, mereka harus melewati sungai kecil dengan titian batang kelapa. Empat saudara kandung Susi, beserta keluarga anak istri bersemangat untuk berdoa di klenteng. Semua menggunakan baju merah. Warna merah, kata Susi, menurut filosofi Tionghoa adalah pembawa rezeki.
Baju basah dan lumpur tidak terasa, karena dilalui dengan canda tawa. Begitu pula dengan jauhnya perjalanan menuju Klenteng. "Hanya dua saudara di Taiwan dan Bekasi yang tidak bisa hadir. Namun video dan gambar kami kirim. Mereka sangat terharu," ujarnya.
Klenteng leluhur marga Wu, dibangun oleh empat orang Tionghoa yang datang ke Singkawang dengan perahu, tahun 1800-an. Mereka merapat di pesisir pantai Kaliasin. Mereka, yang tak lain adalah Kakek dari Ng Cen Sang. Ng Cen Sang (92) merupakan kakek Susi Wu. Dia masih sehat, walau tidak lagi sanggup berdoa di kuil. "Resepnya makan ikan, tidak suka gorengan dan makan sayur," katanya.
Padahal Ng perokok berat. Mata Ng juga masih awas. Dia kerap membaca koran di teras rumah Susi, tanpa kacamata. Ng pun ikut merayakan Imlek dengan gembira. Usai berdoa di klenteng, keluarga Wu pun menyantap hidangan Imlek bersama, dengan menggunakan busana berwarna merah.
Susi berharap tradisi ini akan terus berlanjut hingga ke anak cucunya kelak. Tak hanya mempertahankan budaya leluhur, nilai kekeluargaan yang terdapat di dalamnya mempunyai arti yang mendalam.
ASEANTY PAHLEVI