TEMPO.CO, Bengkulu - Satu keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak tewas akibat longsor yang terjadi di Desa Tanjung Agung, Kecamatan Sindang Beliti Ulu, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, Ahad, 8 Februari 2015. Tiga korban tewas itu Win Sapri, 30 tahun, Leni Maryanti (30), dan anak mereka Farenza (3).
Longsor juga menimpa Desa Lawang Agung, Kecamatan Sindang Beliti Ulu, satu orang masih hilang. “Hingga saat ini kami masih terus mencari korban,” kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Bengkulu Kolendri, Senin, 9 Februari 2015.
Gubernur Bengkulu pun telah menetapkan status siaga bencana darurat banjir dan longsor hingga Maret nanti. “Semua personel BPBD dan instansi terkait diminta siaga," kata Kolendri. Empat kabupaten yang dianggap rawan banjir dan longsor adalah Lebong, Kepahiang, Bengkulu Utara, dan Seluma.
Sejauh ini, kata Kolendri, bencana banjir dan longsor masih dapat ditangani BPBD kabupaten. BPBD provinsi berusaha mengantisipasi bencana yang berdampak lebih besar.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat jumlah korban tewas akibat banjir dan longsor setiap tahun. Juru bicara BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan total korban tewas selama 2003-2013 ada 5.650 jiwa. "Rata-rata 514 jiwa tewas per tahun," ujar Sutopo, Selasa, 21 Januari 2014.
Pada 2003, terjadi banjir dan longsor sebanyak 266 kali dan pada tahun 2013 ada 822 kejadian. Dalam sebelas tahun terakhir, bencana bencana banjir longsor terbanyak pada 2010, yaitu 1.433 kali. Total selama 2003-2013 ada 6.288 kejadian atau 572 per tahun. Setiap tahun, sebanyak 1,5 juta jiwa mengungsi akibat banjir dan longsor.
Sejatinya, kata Sutopo, penyebab banjir dibedakan menjadi faktor alam dan antropogenik atau kesalahan manusia. Faktor antropogenik lebih dominan dibandingkan faktor alam. Pola hujan memang tiap tahun semakin tinggi intensitasnya.
Namun penyebab banjir longsor utama, kata dia, bertambahnya jumlah penduduk, urbanisasi, konversi lahan, rendahnya kesadaran membuang sampah, tata ruang, minimnya konservasi tanah dan air, dan lainnya, menjadi penyumbang utama meningkatnya kerentanan bencana.
"Degradasi hutan masih cukup tinggi," ujar Sutopo. Kerusakan hutan ini terlihat pada tutupan hutan di 2008 masih 49,4 persen dan terus menurun menjadi menjadi 47,7 persen di 2012. Di Jawa, hutan hanya ada sekitar 16,1 persen dari angka ideal 30 persen dari luas keseluruhan.
PHESI ESTER JULIKAWATI | SUNDARI