TEMPO.CO, Malang - Sebanyak 60 persen dari sekitar 3.200 nelayan di Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, mendapat bantuan uang tunai dan sembako dari pemerintah daerah setempat.
Nelayan yang tersebar di tiga dusun (Tambakrejo, Sendangbiru, dan Tambaksari) di Desa Tambakrejo itu saat ini terpaksa berhenti melaut karena cuaca buruk sejak Mei hingga minggu pertama Agustus 2014. Sebanyak 40 persen nelayan lagi nekat melaut. Namun, jumlah tangkapan hanya sebesar 30 persen dari rata-rata jumlah tangkapan ikan di masa normal. Minimnya jumlah tangkapan ikan menyebabkan nelayan merugi Rp 192 juta per hari.
Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Wahyu Hidayat, 60 persen nelayan tak bisa melaut karena kekuatan kapal motor yang mereka operasikan di bawah 10 PK (singkatan dari paardekracht dalam bahasa Belanda yang berarti tenaga kuda) tak cukup kuat untuk menghadapi tinggi gelombang laut yang bisa mencapai 5 meter dengan kecepatan angin hingga 30 knot.
“Penghasilan rata-rata mereka Rp 100 ribu per hari. Jika dihitung kasar, 3.200 dikalikan 60 persen dan hasilnya dikalikan Rp 100 ribu, maka total kerugian mereka hampir Rp 200 juta per hari,” kata Wahyu, Jumat, 8 Agustus 2014.
Bantuan yang diberikan ke nelayan berbeda-beda. Seribu nelayan yang jadi anggota Koperasi Unit Desa Mina Jaya, misalnya, mendapat bantuan berupa uang tunai antara Rp 15 ribu sampai Rp 30 ribu per orang. Jumlah bantuan dan frekuensi pemberian disesuaikan dengan kemampuan koperasi. Uang bantuan sejatinya berasal dari bagi hasil lelang ikan selama ini yang masuk dalam pos bantuan sosial. Sedangkan nelayan yang di luar koperasi dan tidak melaut sudah mendapat bantuan bahan pokok sebelum Lebaran.
Bupati Malang Rendra Kresna mengatakan bantuan sembako akan diberikan lagi sampai cuaca kembali normal. “Nilainya tidak seberapa, tapi semoga bisa membantu nelayan yang tidak melaut,” kata Rendra.
Selain bantuan uang tunai dan bahan pokok, nelayan juga dibantu membuat rumpon dan peralatan penangkap ikan. Selain dari pemerintah daerah, kata Rendra, nelayan di seluruh Indonesia yang tidak melaut karena cuaca buruk biasanya dapat bantuan dari pemerintah provinsi serta Kementerian Keluatan dan Perikanan. Namun, Rendra mengaku tidak tahu bentuk bantuan yang akan diberikan.
Di luar bantuan, semua nelayan yang tidak melaut dilatih DKP untuk mengolah stok ikan yang tersedia menjadi abon tuna, keripik atau kerupuk ikan, serta tepung ikan sehingga mereka tetap mendapat penghasilan meski jumlahnya lebih kecil dari penghasilan harian mereka.
Sudarsono, Kepala Desa Tambakrejo sekaligus penasihat Kelompok Nelayan Rukun Jaya, mengatakan nelayan mengaku berhenti melaut karena selain berbahaya, hasil tangkapan juga sangat sedikit. Saat ini memang tengah musim paceklik ikan.
Tinggi gelombang laut yang mencapai 5 meter dengan kecepatan angin hingga 30 knot membuat posisi ikan makin ke tengah laut dan memaksa nelayan berlayar sejauh 370-463 kilometer dari garis pantai. Kebanyakan nelayan berani berlayar sejauh itu menggunakan kapal motor berbobot 10-30 GT (gross ton). Jumlah kapal jenis ini kurang dari 40 unit.
Namun, hasil tangkapannya hanya 30 persen dari jumlah tangkapan ikan di masa normal. Kondisi ini mendongkrak harga ikan jadi lebih mahal. Harga yang mahal biasanya menurunkan minat konsumen dan ujung-ujungnya pendapatan nelayan berkurang drastis.
Dalam kondisi normal, sekali melaut selama lima-delapan hari, nelayan bisa mendapat hasil Rp 20 juta sampai Rp 25 juta. Mereka pun masih untung bila pendapatan dipotong biaya operasional Rp 10 juta. Namun sekarang, pendapatan bersih Rp 2 juta sampai Rp 3 juta saja sudah bagus.
ABDI PURMONO
Berita Terpopuler