TEMPO.CO, Yogyakarta - Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dinilai telah melanggar hak asasi anak karena tak mampu menjamin bocah penderita HIV/AIDS untuk memperoleh pendidikan.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Samsudin Nurseha, menyatakan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul telah membiarkan pemenuhan hak pendidikan anak. Artinya, pengabaian itu menjadi bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 11 dan 12 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya serta hal sipil dan politik.
Apalagi, kata Samsudin, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak. Dalam konvensi yang diratifikasi sejak 1990 itu, disebutkan jaminan pendidikan dan diberlakukan tanpa bentuk diskriminasi apa pun. “Banyak kovenan yang telah dilanggar,” katanya, Rabu, 25 Juli 2012.
Samsudin menyatakan ada seorang bocah berusia 5 tahun asal Patuk yang mengidap HIV/AIDS sejak berusia 11 bulan dan tidak bisa masuk sekolah. Bocah ini sebenarnya telah diterima di Taman Kanak-kanak Aisyiah Bustanul Athfal pada Juni lalu.
Namun hingga kini ia belum bisa masuk sekolah. Kepala TK Suratmi mengatakan dia ditolak lantaran ada penolakan dari sejumlah orang tua siswa di sekolah itu. “Mereka takut anak mereka tertular,” katanya di sela sosialisasi HIV/AIDS pada orang tua siswa di Gunungkidul.
Sosialisasi itu merupakan respons atas mencuatnya kasus tersebut. Bahkan, pekan lalu, dalam sebuah acara di Bantul, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X menegur Bupati Gunungkidul Badingah karena ada anak penderita HIV di daerahnya yang tak bisa bersekolah. Sosialisasi itu sekaligus upaya mediasi antara pemerintah dan sekolah terhadap penolakan oleh orang tua siswa.
Selain dihadiri Dinas Kesehatan, Komisi Penanggulangan AIDS, dan sejumlah organisasi nonpemerintah peduli HIV/AIDS, pertemuan itu dihadiri oleh Wakil Bupati Gunungkidul, Immawan Wahyudi.
Sayang, upaya itu gagal karena bocah itu tetap mereka tolak. Padahal, kata Suratmi, sekolah bersedia membuka pintu. Bahkan untuk memperkecil kekhawatiran orang tua siswa yang lain, sekolah menyusun home schooling. “Ada 10 guru di sini. Semua sudah bersedia bergantian mengajar di rumahnya,” katanya.
Wakil Bupati Immawan Wahyudi mengatakan tak bisa mencampuri urusan sekolah. Kewajiban pemerintah hanya melakukan sosialisasi. Kalau pun masih ada orang tua siswa yang menolak, pemerintah tak berhak memaksa. “Memaksa masyarakat juga melanggar hak asasi manusia,” katanya.
Adapun orang tua bocah yang hidup dengan HIV/AIDS itu menyatakan tertekan akibat anaknya tak bisa bersekolah. Perempuan berusia 27 tahun itu menolak home schooling yang ditawarkan sekolah. "Itu sama artinya dengan diskriminasi,” kata dia.
ANANG ZAKARIA
Berita terpopuler lainnya:
Kisruh Anang-KD, Ashanty Merasa Tersudut
CEO Liga Inggris Minta Maaf pada PSSI
Maia Estianty Bakal Nikah dengan Polisi?
Dhani Minta Maia Sering Temui Anak-anak
Wamendikbud: Waspadai Jebakan Malaysia
Bintang Twilight, Kristen Stewart Khianati Robert Pattinson
Dalam Masjid, Ustadz Kampanye Foke
Pemain Muda Arsenal Dituduh Hina Yahudi