Analisis oleh PBB menjelang Hari AIDS Sedunia mengungkapkan bahwa ketidaksetaraan menghalangi berakhirnya AIDS. Dengan tren yang terjadi saat ini, dunia tidak akan memenuhi target global AIDS yang telah disepakati. Namun laporan UNAIDS Global yang baru, Dangerous Inequalities, menunjukkan bahwa tindakan mendesak untuk mengatasi ketidaksetaraan dapat membuat program penanggulangan AIDS kembali pada jalur yang seharusnya.
Pada awal tahun ini, UNAIDS Global menyatakan bahwa program penanggulangan AIDS dalam bahaya dengan meningkatnya infeksi baru dan kematian yang terus berlanjut di berbagai bagian dunia. Laporan baru dari UNAIDS Global menunjukkan bahwa ketidaksetaraan adalah alasan yang mendasarinya. Laporan ini juga menunjukkan bagaimana para pemimpin dunia dapat mengatasi ketidaksetaraan itu, dan meminta mereka untuk berani mengikuti apa yang diungkapkan oleh bukti.
Dangerous Inequalities membongkar dampak terhadap AIDS dari ketidaksetaraan gender, ketidaksetaraan yang dihadapi oleh populasi kunci, dan ketidaksetaraan antara anak-anak dan orang dewasa. Laporan ini juga menunjukkan bagaimana kendala keuangan yang memperburuk situasi dalam mengatasi ketidaksetaraan. Laporan tersebut menunjukkan bagaimana ketidaksetaraan gender dan norma terkait gender yang diskriminatif dapat menghambat berakhirnya pandemi AIDS.
“Dunia tidak akan mampu mengalahkan AIDS jika patriarki masih kuat,” ucap Direktur Eksekutif UNAIDS Winnie Byanyima.
Meningkatkan program transformatif gender di banyak bagian dunia adalah kunci untuk menghentikan pandemi. Memajukan kesetaraan gender akan menguntungkan semua orang.
Laporan terbaru dari Global juga menunjukkan bahwa penanggulangan AIDS tertahan oleh ketidaksetaraan dalam akses pengobatan antara orang dewasa dan anak-anak. Sementara lebih dari tiga perempat orang dewasa yang hidup dengan HIV menggunakan terapi antiretroviral, lebih dari separuh anak yang hidup dengan HIV menggunakan obat yang menyelamatkan jiwa. Hal ini memiliki konsekuensi yang memprihatinkan. Pada tahun 2021, anak-anak menyumbang 4% dari semua orang yang hidup dengan HIV tetapi 15% dari semua kematian terkait AIDS.
Situasi yang sama juga terjadi di Indonesia dimana pada tahun 2021, anak-anak menyumbang 12% dari 27.000 infeksi HIV baru, dan 9% dari 26.000 kematian terkait AIDS di Indonesia. Cakupan pengobatan pada anak sangat rendah yaitu hanya 25%. Hambatan untuk mengakses perawatan bagi anak-anak sangat jauh dari jangkauannya. Tidak cukup obat HIV yang dikembangkan secara khusus untuk kebutuhan anak. Selain itu, juga menutup kesenjangan perawatan untuk anak-anak akan menyelamatkan nyawa.
Kita masih jauh dari mengakhiri infeksi HIV baru pada perempuan dan anak-anak. Untuk membenahi salah satu disparitas yang paling mencolok dalam penanggulangan AIDS, tahun ini UNAIDS Indonesia bersama Jaringan Indonesia Positif, Ikatan Perempuan Positif Indonesia, Yayasan Pelita Ilmu, dan Lentera Anak Pelangi menginisiasi Aliansi Nasional untuk mengakhiri AIDS pada Anak.
“Aliansi Nasional untuk akhiri AIDS pada Anak di Indonesia ini, diharapkan dapat menjadi kendaraan untuk konsolidasi dukungan dan sumber daya untuk lebih meningkatkan kualitas program HIV bagi kelompok perempuan, anak, dan juga remaja. Penguatan multi sektoral menjadi penting untuk dilakukan agar mendapatkan dukungan yang cukup untuk program HIV. Negara juga harus prioritaskan pembiayaan program HIV. Saya mengundang mitra yang tertarik menjadi anggota aliansi nasional untuk dapat bekerja sama menutup kesenjangan dan bersama menyelamatkan nyawa untuk mengakhiri AIDS di Indonesia pada tahun 2030” ucap Krittayawan Boonto, UNAIDS Country Director of Indonesia. Di seluruh dunia, orang-orang bergerak untuk menantang ketidakadilan yang menjauhkan orang dari layanan pengobatan, perawatan dan pencegahan HIV yang menyelamatkan jiwa. Aliansi Nasional untuk Mengakhiri AIDS pada Anak bertujuan untuk memastikan bahwa tidak ada anak yang hidup dengan HIV yang tidak dapat mengakses pengobatan dan untuk memastikan tidak ada lagi infeksi baru pada anak. Apa yang perlu dilakukan para pemimpin dunia sangat jelas,” ucap Byanyima.
“Dalam satu kata: Equalize. Persamaan hak, pemerataan akses pelayanan, termasuk pemerataan akses ilmu pengetahuan. Menyetarakan tidak hanya akan membantu mereka yang mengalami stigma dan diskriminasi saja, tapi itu juga akan membantu semua orang.”