TEMPO.CO, Jakarta - Dalam beberapa kesempatan berbincang dengan menteri ketenagakerjaan, duta besar, dan kalangan perburuhan dari negara lain, Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri mengatakan sering melemparkan pertanyaan untuk bercanda. Pernyataan-pernyataan yang disampaikannya pun tidak jarang membuat para tamunya tertawa.
“Tahu kan Anda, apa sebutan yang pas untuk Kementerian Ketenagakerjaan di Indonesia?” ujar Hanif kepara para menteri ketenagakerjaan, duta besar, dan kalangan perburuhan dari negara lain itu.
Baca Juga:
“Tentu saya tidak terlalu menunggu jawaban mereka, karena sejatinya pertanyaan itu hanyalah joke. Lalu saya bilang, bukan Ministry of Manpower atau Ministry of Labor, karena saya tak hanya mengurusi buruh, tapi juga pengusaha yang kepentingannya pasti bertentangan. Sebutan yang pas untuk Kementerian Ketenagakerjaan adalah Ministry of problems. Kementerian dengan segudang masalah,” ucap Hanif yang membuat para tamu tertawa. Pernyataan-pernyataan Hanif membuat suasana menjadi akrab dan cair.
Lihat saja, unjuk rasa Hari Buruh dan penentuan upah minimum yang menjadi isu tahunan. Belum lagi masalah pemutusan hubungan kerja yang setiap saat muncul, pekerja migran Indonesia di luar negeri teraniaya, meninggal atau terancam hukuman mati. Juga masalah rendahnya kompetensi tenaga kerja Indonesia yang harus bersaing dalam kompetisi global, serta berbagai problem ketenagakerjaan lainnya. “Namun saya bersyukur, seluruh jajaran di Kementerian Ketenagakerjaan menyadari akan hal itu,” tutur Hanif.
Joke dan selera humor yang baik, sering menjadi umpan yang baik untuk berefleksi. Humor sebagai pengendur saraf, bahkan bagian dari proses penemuan solusi. “Tak mengherankan para tokoh besar dunia, kebanyakan memiliki sense of humor yang bagus. Bayangkan tegang dan runyamnya dunia ini bila mereka kering rasa humor dan tak memiliki joke-joke segar,” kata Hanif.
Baca Juga:
Konon, humor yang baik, menuntut kecerdasan dan keberanian. Termasuk keberanian menertawakan diri sendiri, baik secara personal maupun kelembagaan. “Bung Karno dan Gus Dur telah menunjukkan contoh yang baik. Demikian pula Presiden Joko Widodo,” ujar Hanif.
Kecerdasan dan keberanian juga menjadi syarat mutlak dalam pembuatan keputusan, khususnya kebijakan publik. Keberanian, tentu sangat berbeda dengan kenekatan. Keberanian berakar dari pengetahuan yang baik, berbasis data yang valid, informasi yang cukup serta estimasi risiko terkait hal yang akan diputuskan. Adapun kenekatan adalah sebaliknya. Walaupun dalam tindakan praktisnya, masyarakat sering melihatnya secara salah kaprah. Orang yang pemberani sering dianggap nekat.
Soal keberanian memutuskan tindakan, Columbus memberi contoh menarik. Sebelum pelayaran panjangnya, syahdan, pelaut berjanggut lebat itu datang ke kedai. Mengambil sebutir telur rebus dari mangkuk penjual, diangkatnya dengan tangan kiri seraya berkata, “Siapa dapat meletakkan telur ini berdiri tegak, kuberi hadiah besar,” tantangnya. Pengunjung kedai ramai mencoba, dan telur selalu menggelinding, tumbang. Tak ada yang berhasil. Mereka berteriak, “Coba, kamu!”.
Columbus memungut telur yang menggelinding. Memukulkan pantat telur dengan papan meja hingga pipih, lalu meletakkan telur berdiri tegak. “Lihat, berhasil kan?” kata Colombus sambil menyodorkan jempolnya. "Kalau begitu caranya, kami juga bisa," serentak protes, bersahutan. “Kenapa kalian tidak melakukannya. Takut dicela?” tukas Columbus, sambil meletakkan telur rebus kedua, dan ketiga yang juga berdiri tegak.
Penggalan cerita Colombus itu mengajarkan bahwa nyaris tidak ada keputusan yang sepi dari celaan, khususnya terkait kebijakan publik. Namun keputusan tetap harus diambil. Dengan demikian tercipta kepastian aturan. Sekalipun, terkadang keputusan yang dianggap tak populer. Kecakapan dan keberanian menjadi kunci.
“Kami di Kemnaker, dalam membuat putusan dan kebijakan selalu merujuk pada dua hal. Menyelesaikan masalah yang ada dengan segera dan mengantisipasi potensi persoalan yang akan timbul. Kurasi dan prevensi, mengobati dan mencegah. Tentu saja tidak mudah. Bak mendayung perahu, kami harus melihat jauh ke depan, sekaligus sibuk menyingkirkan ranting, pokok pohon tumbang yang hanyut di sungai. Sesekali sambil bersenandung untuk menjaga ritme dan kekompakan,” ujar Hanif. (*)