TEMPO.CO, Yogyakarta - Wakil Ketua Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Yogyakarta Antonius Fokki Ardiyanto mendapat laporan intoleransi siswa di sejumlah sekolah menengah pertama negeri dan sekolah menengah atas negeri di Yogyakarta.
Menurut Fokki sejumlah sekolah telah membuat aturan yang mengarah ke perilaku intoleransi dan mengarahkan siswa fanatik terhadap ajaran agama tertentu. "Praktek intoleransi itu terjadi di sekolah negeri dan berbahaya," kata Fokki, Jumat, 19 Mei 2017.
Baca: Kasus Intoleransi di Jawa Tengah Naik, Motifnya Berulang
Komisi D mendapatkan pengaduan dari seorang wali murid SMP Negeri di Kota Yogyakarta. Siswa itu mendapat perkataan kafir dari temannya. Sekolah itu juga mewajibkan siswanya memakai pakaian dengan ciri khas agama tertentu. "Yang tidak memakai dibilang kafir dan siswa itu merasa minder," kata Fokki.
Menurut dia terjadi pergeseran nilai-nilai yang mengarah pada lunturnya penghormatan terhadap keberagaman di sekolah negeri. Dia mengamati terjadi penyeragaman di berbagai kegiatan keagamaan berdasarkan agama mayoritas. "Siswa beragama minoritas mendapat perlakuan tidak mengenakkan dari guru dan karyawan," kata dia.
Simak: Jokowi Bertemu PGI dan KWI Bahas Intoleransi
Demi keamanan orang tua dan siswa yang mengadukan intoleransi itu, Fokki tidak menyebut identitas siswa tersebut. Ia meminta Dinas Pendidikan memberikan perhatian serius agar sekolah memelihara nilai-nilai kebangsaan dan pluralisme.
Seorang alumni SMP Negeri di Yogyakarta, Kaka, mengatakan praktek intoleransi yang ia dengar adalah olok-olok kafir terhadap siswa yang beragama minoritas. Ia juga mendengar ada pemaksaan penggunaan jilbab di salah satu sekolah menengah negeri. "Aturan yang dibuat sekolah mewajibkan siswa berjilbab dibuat tidak tertulis," kata dia.
Lihat: Wali Kota Terpilih Haryadi Janji Atasi Intoleransi di Yogyakarta
Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, Budi Asrori belum menjawab ketika dikonfirmasi melalui sambungan telepon mengenai sekolah negeri di Yogyakarta yang dianggap mempraktekkan intoleransi itu.
SHINTA MAHARANI