TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) Luviana mengatakan tuntutan bekerja lebih dari delapan jam bagi jurnalis merupakan bentuk kemunduran luar biasa dari Undang-undang Ketenagakerjaan. Sindikasi mendesak adanya hitungan lembur dalam kerja jurnalis.
“Di Undang-undang ketenagekerjaan sudah diatur bahwa jam kerja itu hanya delapan jam sehari. Kalau lebih dari delapan jam harus dihitung lembur,” ujarnya di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Senin, 1 Mei 2017.
Baca: Hari Buruh, Fadli Zon: Upah Harus Perhatikan Gejolak Kurs Rupiah
Menurut Luvi, banyak jurnalis yang kelebihan jam kerja dan tidak mendapatkan uang lembur. Kebanyakan jurnalis tidak menuntut hal tersebut karena mitos-mitos yang sejak dulu berkembang di dunia jurnalis.
“Di dunia wartawan kayak ada mitos kalau kamu delapan jam langsung pulang berarti kamu pemalas dan tidak professional,” ujarnya.
Luvi menyebut mitos itu sebagai mitos kapitalisme yang menjerat pekerja-pekerja media untuk menyerahkan diri pada perusahaan. Menurut Luvi, akibatnya banyak pekerja media yang sulit mempunyai ruang interaksi lain seperti ikut serikat pekerja.
Baca: Hari Buruh, Solidaritas Jurnalis Bandung Tuntut Kesejahteraan
Pada Mayday kali ini, Sindikasi melakukan aksi bersama Federasi Serikat Pekerja Media Independen dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pusat, serta AJI Jakarta. Mereka melakukan long march dari Tugu Tani menuju Dewan Pers, Sekretarian Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), dan berakhir di Patung Kuda Arjuna Wijaya
DWI FEBRINA FAJRIN | EA