TEMPO.CO, Jakarta- Lia Syantia, TKI ilegal, lega dan bahagia bisa kembali ke Indonesia. Selama 6 bulan perempuan 23 tahun itu bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi, merupakan keputusan keliru. Lia menyadari bahwa pemerintah telah menghentikan pengiriman TKI ke sejumlah negara di Timur Tengah, termasuk Arab Saudi.
“Saya dijanjikan kerja di Abu Dhabi tapi malah bekerja di Arab Saudi,” ucap Lia di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Sabtu, 29 April 2017. Ia merasa bersyukur bisa pulang ke Indonesia karena ratusan rekannya masih terkatung-katung di Arab Saudi.
Baca: 30 TKI Ilegal Terobos Perbatasan di Nunukan
Selama di Arab Saudi, Lia sempat menganggur 3 bulan karena menunggu panggilan kerja. Setelah mendapat pekerjaan sebagai pembantu rumah tanga, Lia hanya sanggup bertahan selama 3 bulan saja. Sangat beruntung permintaan kepulangannya tidak mengalami kendala. “Saya sekarang milih kerja di sini (Indonesia) saja,” ucap perempuan asal Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.
Pengurus Solidaritas Perempuan Nindy Silvie menyebut Lia sebagai korban penempatan TKI ilegal. Lia, menurut Nindy, tidak mendapatkan informasi yang jelas ihwal pekerjaan yang akan dilakoninya di negara tujuan. Tak hanya itu, Lia juga mengalami perampasan dokumen saat bekerja di Arab Saudi. “Harusnya dokumen dipegang oleh buruh migrant,” ucap Nindy.
Baca: DPR Minta Pemberangkatan 30 WNI Diduga TKI Ilegal Diusut
Nindy menjelaskan, Lia hanya salah satu dari ratusan TKI yang menjadi korban perdagangan manusia. Maraknya TKI ilegal atau perdagangan manusia tidak lepas dari keputusan pemerintah yang melarang pengiriman TKI ke Timur Tengah. Aturan itu tertuang dalam Kepmenaker RI No. 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan TKI pada Pengguna Perseorangan di Negara Kawasan Timur Tengah.
Sejak Kepmenaker itu keluar, kata Nindy, eskalasi pengiriman TKI ilegal meningkat. Terhitung pertengahan 2016 hingga April 2017, Solidaritas Perempuan mencatat 9 kasus TKI ilegal.
Baca: KPK dan BNP2TKI Telusuri Celah Pengiriman TKI Ilegal
Nindy menilai Kepmenaker No.260 Tahun 2015 dianggap penyebab terjadinya perdagangan manusia. Seharusnya, sebelum menerbitkan aturan itu, pemerintah memperbaiki tata kelola pengiriman TKI terlebih dulu. “Yang terjadi sekarang rezim penempatan bukan perlindungan,” tuturnya.
Risca Dwi, pengurus Solidaritas Perempuan, menambahkan masih banyak hak-hak TKI yang dilanggar. Risca mendesak merevisi Undang-undang No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. “Jangan melihat buruh sebagai komoditas, tapi harus dilihat sebagai warga negara Indonesia yang harus dilindungi.” TKI ilegal harus dicegah dari calon perdagangan orang.
ADITYA BUDIMAN