TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Oce Madril mengatakan KPK harus bisa mengombinasikan berbagai aturan hukum dalam pengusutan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Hal ini dilakukan agar ada recovery aset negara.
"Harus ada kombinasi UU Tipikor, Tindak Pidana Pencucian Uang dan juga soal tindak pidana," kata Oce Madril kepada Tempo saat dihubungi pada Rabu, 26 April 2017.
Baca :
Soal Kasus BLBI, Jokowi Bela Inpres Megawati Tahun 2002
Pukat UGM Sambut Positif Langkah KPK Mengusut Kasus Korupsi BLBI
Oce menuturkan dengan langkah kombinasi itu, KPK bisa mengefektifkan aturan dalam hal pengembalian aset negara yang hilang. Kombinasi itu, kata Oce Madril, membuat jangkauan KPK bisa lebih luas lagi dalam mengusut siapa saja pihak yang terlibat.
Menurut Oce dengan menggunakan UU nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, KPK bisa mengejar aset dari hasil kejahatan dan juga bisa disita. Selain disita, bisa juga dirampas untuk negara dan dikenakan denda cukup tinggi.
Sementara mengenai tindak pidana korporasi, Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan MA nomor 13 Tahun 2016 tentang tata cara penanganan tindak pidana oleh korporasi. Aturan ini, kata Oce, memungkinkan aset-aset korporasi bisa disita jika memang terbukti ada tindak pidana yang melibatkan korporasi.
Simak pula : Jokowi Pilih Palangkaraya, JK Setuju Mamuju, Pengamat: Jakarta
Oce mengungkapkan dalam pengusutan kasus ini, KPK menjadi leadnya dan bisa bekerja sama dengan lembaga lain seperti Kejaksaan Agung jika memang dibutuhkan. "Bisa saja minta bantuan ke Kejaksaan Agung."
KPK menetapkan bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Tumenggung sebagai tersangka korupsi pemberian surat keterangan lunas terhadap utang Sjamsul Nursalim, obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Syafruddin diduga memperkaya diri sendiri, orang lain, dan korporasi dengan menyalahgunakan jabatannya sehingga negara merugi Rp 3,75 triliun. Nilai kerugian tersebut merupakan sisa piutang negara dalam penyaluran BLBI kepada PT Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang tak diperhitungkan ketika Syafruddin menetapkan seluruh utang Sjamsul lunas pada April 2004.
DIKO OKTARA