TEMPO.CO, Dompu - Masyarakat suku Bugis yang berasal dari Pulau Sulawesi terkenal sebagai masyarakat perantau. Mereka hidup berkelompok dalam suatu wilayah dan lazimnya hidup dipinggir laut, karena masyarakat Bugis adalah pelaut.
Bugis saat ini bisa dikatakan sudah menyebar kesegala penjuru dunia, dan membentuk kelompok-kelompok organisasi kebugisan. Di media sosial seperti Facebook sudah ada akun masyarakat Bugis yakni "Bugis sedunia".
Di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat pun masyarakat Bugis sudah ratusan tahun hidup terutama di Desa Soro, Kecamatan Kempo, sekitar 20 kilometer dari pusat kota. Bahkan ditengah kota Dompu, ada salah satu lingkungan namanya Kampung Bugis, keturunan mereka berasal dari Bugis.
Baca juga:
202 Bendera Merah-Putih Akan Ditancapkan Di Puncak Tambora
Suku Bugis adalah potret masyarakat yang agamis, mayoritas mereka beragama Islam. Selain beragama, suku Bugis memiliki nilai-nilai adat dan budaya yang terkenal dan cukup kental, salah satunya tradisi "Cera Labu".
Pelaksanaan Cera Labu dilakukan dengan cara pembuangan sesajen berupa kepala kerbau dan pernak-perniknya ke laut oleh tokoh adat atau kepala suku.
Tradisi ini sudah sejak lama dilakukan, dan sudah berumur ratusan tahun. Biasanya digelar pada bulan April sekitar tanggal minggu pertama tiap tahun, menjelang perayaan hari jadi Kabupaten Dompu sekaligus memperingati meletusnya Gunung Tambora yang pada setiap 11 April.
Ritual Cera Labu adalah bentuk selamatan laut yang dilakukan ketika para nelayan kurang mendapatkan rezeki saat melaut. Dengan ritual Cera Labu, diharapkan bisa mendatangkan rezeki yang lebih banyak untuk kesinambungan kehidupan para nelayan selanjutnya.
Ritual Cera Labu tahun ini dilaksanakan pada Selasa, 4 April 2017, di Desa Soro, Kecamatan Kempo, yang dihadiri hampir seluruh pejabat lingkup Pemkab Dompu dan jajaran forum koordinasi pimpinan daerah.
Tradisi Cera Labu dilaksanakan merupakan bagian dari rangkaian event Festival Pesona Tambora (FPT), dan Bupati Dompu H. Bambang M. Yasin didaulat memimpin ritual sakral tersebut.
Rangkaian ritual Cera Labu, sehari sebelumnya diawali dengan merakit Kepala Kerbau dan dimasukan kedalam tempat khusus oleh penghulu adat. Penghulu adat harus dari keturunan Ua Kuda. Diketahui keturunan Ua Kuda berasal dari tanah Bugis, Makassar Sulawesi.
Sehari setelah itu, acara seremonial yakni penyambutan bupati beserta undangan dengan tarian adat, kemudian pemakaian sarung dan topi adat oleh penghulu adat terhadap Bupati dan Wakil Bupati serta pengalungan kalung Bunga kepada Bupati dan Wakil Bupati.
Kemudian dilanjutkan dengan pengantaran dan pelemparan sesajen ke tengah laut, dalam hal ini dilakukan oleh Ketua Adat atau yang ditujuk.
Keyakinan nelayan Bugis selama ini, jika Kepala Kerbau yang dilempar tersebut berputar-putar lalu tenggelam, maka ritual tersebut berhasil dan rezeki akan berlimpah. Namun jika Kepala Kerbau tidak tenggelam atau mengapung, maka tidak akan ada rezeki.
Kepercayaan lain, selain tidak adanya rezeki, mengapungnya kepala Kerbau ternyata akan membawa malapetaka atau bencana, dan kejadian yang pernah ada bahwa kegagalan ritual Cera Labu memakan korban meninggal dunia. Hal itu terjadi karena yang melempar kepala Kerbau adalah orang yang salah. Keyakinan itu masih sangat kental hingga saat ini.
Dan, ketika kepala Kerbau yang dilempar langsung tenggelam, artinya akan banyak rezeki bagi masyarakat nelayan Bugis yang hidup dipesisir laut Soro.
AKHYAR M. NUR