TEMPO.CO, Banyumas - Lima orang petani lehernya diikat menggunakan tali secara berjejer ke belakang. Di ujung tali, seorang pria, yang berpakaian kemeja putih dengan celana panjang dan dasi berwarna hitam, menarik mereka.
Kelima petani teriak kesakitan, sedangkan pria berpakaian formal tersebut duduk sembari menghisap rokok menikmati penderitaan yang dialami petani. “Kendeng berjuang untuk pertiwi. Kendeng adalah pertiwi yang disakiti dan tidak bisa menangis,” teriak seorang pembaca naskah drama di sela pertunjukan teater berjalan di Alun-alun Purwokerto, Kamis, 23 Maret 2017.
Teater tersebut digelar di Alun-alun Purwokerto dengan dihadiri ratusan mahasiswa yang duduk melingkar. Ada tujuh pertunjukan teater yang sebagian besar menceritakan penolakan terhadap pembangunan pabrik semen. Warga yang malam itu berada di alun-alun turut melihat dan menghayati jalannya cerita selama pertunjukan berlangsung.
“Dari serangkaian teater yang ditampilkan, benang merah yang ingin disampaikan adalah penolakan (pembangunan pabrik) semen beserta dampaknya,” kata juru bicara Banyumas Peduli Kendeng, Sujada Abdul Malik.
Aksi tersebut merupakan respons atas meninggalnya Patmi, salah seorang peserta Aksi Dipasung Semen Jilid II di Jakarta. Aksi itu juga sebagai respons kekecewaan kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, yang terburu-buru mengeluarkan surat izin lingkungan baru.
“Sedangkan kajian strategis tentang lingkungan hidup masih belum keluar. Jadi sangat disayangkan,” tuturnya.
Padahal, kata Sujada, hasil Seminar Kebumian ke-7 yang diadakan Jurusan Geologi di Fakultas Teknik UGM, keberadaan pabrik semen berdampak terhadap 14 kecamatan di Rembang. Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Pasal 25, pemanfaatan air cekungan tanah tidak diperbolehkan.
“Dampaknya, persawahan dan sumber air bersih akan mati. Kehilangan tanah dan air akan mempengaruhi struktur sosial di kawasan tersebut,” ujarnya.
Menurutnya, aksi dengan jalur kebudayaan ini dipilih karena seni dapat digunakan sebagai alat penyampaian pesan politik yang selama ini sulit untuk disuarakan. “Dalam kajian budaya, ini adalah seni tandingan yang melawan budaya pop saat ini. Budaya pop sekarang mempropagandakan bagaimana hidup mewah seperti selebritis. Karena itu, kita melawan semua hiruk-pikuk budaya pop saat ini,” ujarnya.
Aksi teater tersebut digagas sekumpulan badan eksekutif mahasiswa dari perguruan tinggi di Banyumas. Selain menggelar teater, mereka juga melakukan aksi pengumpulan dana di puluhan titik sejak Kamis siang. Dari salah satu organisasi yang tergabung dalam Banyumas Peduli Kendeng, dana yang sudah terkumpul, kata Sujudan, mencapai Rp 600 ribu.
“Rencananya, uang yang kita kumpulkan untuk meringankan beban masyarakat Kendeng yang sedang berjuang ada di Jakarta,” ujarnya.
BETHRIQ KINDY ARRAZY