TEMPO.CO, Samarinda - Pengakuan PT Pelabuhan Samarinda Palaran (PSP) mengungkap fakta baru terkait kasus dugaan pungutan bongkar muat di dalam pelabuhan. Direktur Operasional PSP Julius Agus menyatakan tidak pernah menyetujui tarif bongkar muat yang ditentukan oleh Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat Samudera Sejahtera (Komura).
"Dengan kami (PT PSP) tidak ada kesepakatan, dengan TPK (Terminal Peti Kemas) juga tidak ada kesepakatan (tarif bongkar muat)," kata Julius Agus kepada Tempo, saat ditemui di Terminal Peti Kemas, Jalan Dipenogoro, Bukuan, Kecamatan Palaran, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Senin, 20 Maret 2017.
Menurut dia, tarif bongkar muat yang ditetapkan oleh Komura secara sepihak. "Kami tidak pernah menerima kesepakatannya," kata Julius.
Baca: Diperiksa Polisi, Wali Kota Bantah Izinkan Pungli di Samarinda
Terkait siapa saja pihak yang menyepakati tarif bongkar muat yang ditetapkan Komura yang menurut Polda Kaltim sebesar Rp 180-340 ribu, PT PSP mengaku tidak pernah mengetahuinya. Dia pun mengaku tak mengetahui siapa saja yang menyepakati. "Kami tidak paham juga, yang penting kami tidak pernah hadir," ucap Julius.
Julius melanjutkan, jumlah buruh Komura yang harus dibayar jasanya lebih dari yang seharusnya dibutuhkan. Ada 10 grup Komura yang ada di TPK Palaran dengan masing-masing grup berjumlah 10 orang. Untuk bongkar muat barang kapal yang telah menggunakan mesin crane, kata Julius, seharusnya dalam 1 kapal cukup menggunakan 4 orang buruh. Sementara Komura meminta penggunaan jasa 30 orang.
"Kelebihannya dari 30 buruh, mungkin 26 orang," kata dia.
Pasca operasi tangkap tangan oleh tim gabungan kepolisian pada Jumat, 17 Maret 2017 lalu, proses bongkar muat kapal di Pelabuhan Samudera Palaran dan TPK Palaran berjalan lancar. "Bongkar muat tetap berjalan lancar," kata Julius.
Baca: Kasus Pungli, Begini Proses Terbitnya SK Wali Kota Samarinda
Tim gabungan Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri bersama jajaran Polda Kaltim melakukan operasi tangkap tangan di Pelabuhan Peti Kemas dan TPK Palaran. Dari lokasi pertama di Pelabuhan Peti Kemas, polisi mengamankan 15 pekerja yang diduga anggota Komura. Mereka diduga menetapkan tarif bongkar muat tinggi, yakni Rp 180-340 Ribu per kontainer.
Kasus ini berkembang hingga polisi menyita uang tunai senilai Rp 6,1 miliar dari ruang bendahara Kantor Komura yang terletak di Jalan Yos Sudarso, Kota Samarinda. Sekretaris Komura berinisial DW alias DH telah ditetapkan tersangka. Dari hasil penangkapan DH, polisi menyita 9 unit mobil mewah, 5 unit rumah mewah, 9 kendaraan bermotor, 2 bidang tanah dan tabungan deposito bernilai ratusan miliar rupiah.
Dalam operasi itu, polisi juga membongkar praktek pungli yang lain. Di pintu masuk Pelabuhan Peti Kemas, polisi menangkap adanya praktik pungutan liar senilai Rp 20 ribu untuk setiap truk kontainer yang masuk dan dilakukan oleh Koperasi Serba Usaha Pemuda Demokrat Indonesia Bersatu (PDIB) Samarinda.
Baca: Diduga Pungli Tarif Parkir Pelabuhan, Polisi Geledah Kantor PDIB
Polisi menyita uang tunai senilai Rp 5 juta di hari yang sama, Jumat, 17 Maret 2017 lalu. Dari kasus pungli untuk masuk ke Pelabuhan Peti Kemas, polisi telah menetapkan 2 orang tersangka. Yakni, Sekretaris Koperasi Serba Usaha (KSU) PDIB Samarinda berinisial NA yang berperan sebagai administrasi dan menentukan tarif pungutan.
Tersangka lainnya ialah Ketua PDIB Samarinda berinisial HS yang kini buron dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
Adapun Ketua Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat Samudera Sejahtera (Komura), Jaffar Abdul Gaffar mengklarifikasi soal berita operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan polisi di Pelabuhan Peti Kemas di Samarinda, Kalimantan Timur pada Jumat, 17 Maret 2017. Dia menjelaskan soal uang Rp 6,1 miliar yang disita polisi dalam OTT itu.
Menurut Jaffar, uang itu bukanlah uang hasil pungutan liar melainkan dana operasional untuk membayar upah buruh. Ia membantah jika uang tersebut adalah hasil pungli.
Baca: Duit Dugaan Pungli Rp 6,1 M Disita, Koperasi: Itu Uang Buruh
"Kalau langsung dikategorikan bagian dari money laundry atau korupsi, suap, saya belum bisa katakan ada bagian dari itu, karena apa yang saya lakukan selama ini adalah aturan," kata dia dalam jumpa pers di Akmani Hotel, Jakarta Pusat, Minggu, 19 Maret 2017.
Jaffar menjelaskan, sebelum mempekerjakan buruh, biasanya Komura membayar panjar sebesar 30 persen dari jumlah upah kepada buruh itu. Uang itu berasal dari perusahaan atau kapal yang meminta tenaga buruh untuk bongkar muat.
FIRMAN HIDAYAT | SAPRI MAULANA