TEMPO.CO, Jakarta - Staf ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Arief Yuwono mengatakan ada tiga poin penting yang dihasilkan dari forum Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati di Meksiko. Salah satunya adalah ecologically and biologically significant marine area in need of protection atau Ebsa.
"Ada spot-spot yang dinilai penting bagi keanekaragaman hayati dan memenuhi kriteria Ebsa," kata Arief Yuwono saat ditemui di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Jumat, 6 Januari 2017.
Sejumlah wilayah di Indonesia, kata Arief, dinilai memenuhi kriteria Ebsa, seperti Selat Lembeh, Upwelling Zone of the Sumatera-Java coast, Raja Ampat and northern bird's head, Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion, dan Southern Straits of Malacca. Arief mengatakan Indonesia sempat menyampaikan keinginan untuk menarik beberapa lokasi yang dimaksud, hingga akhirnya Selat Lembeh berhasil ditarik dari daftar tersebut.
Kedua adalah tentang artikel 8j terkait dengan traditional knowledge. Menurut Arief, artikel tersebut mengatur agar ada elemen kehati-hatian dalam penggunaan sumber daya, tentunya dengan memperhatikan masyarakat lokal atau adat supaya tidak terganggu.
Terakhir adalah tentang synthetic biology. Sidang mencatat organisme hidup yang dibentuk melalui synthetic biology dapat serupa dengan living modified organism atau LMO. Meski diakui dengan pengetahuan saat ini, tidak diketahui apakah organisme hasil synthetic biology akan masuk kategori LMO sesuai definisi Protokol Cartagena.
Karena itu, konvensi tersebut mendorong beberapa pihak menerapkan pendekatan kehati-hatian dan mempertimbangkan berbagai aspek dalam melakukan penilaian keuntungan maupun dampak dari organisme, komponen, dan produk yang dihasilkan dari teknik synthetic biology.
Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati di Cancun, Meksiko, berlangsung pada 2-17 Desember 2016 dan merupakan konvensi yang ke-13. Indonesia merupakan tuan rumah kedua konvensi ini yang berlangsung pada 1995 di Jakarta.
DIKO OKTARA