TEMPO.CO, Jakarta - Memperkuat basis ilmiah (scientific based) perubahan iklim menjadi kebutuhan mendesak guna menyusun kebijakan di pusat dan daerah. Selain itu riset-riset perubahan iklim di berbagai daerah menjadi bahan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) merumuskan rekomendasinya.
Persoalan di atas mengemuka dalam acara Round Table Dialog Tatakelola Perubahan Iklim dan Sumber Daya Alam, di Jakarta pada 21-22 Desember 2016. Dialog ini diselenggarakan Green Voice Foundation (GVF), Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), Thamrin School dan Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB).
"Rapat IPCC merujuk hasil riset yang dilakukan di Karibia mengenai kaitan perubahan iklim dengan tanaman pisang dan kelapa," kata Prof. Edvin Aldrian, Wakil Ketua Pokja I, IPCC yang menjadi salah satu pembicara dialog.
Edvin bercerita jalannya rapat tim ahli IPCC di Bali pada 13-16 Desember 2016. Padahal, Indonesia kaya dengan pisang, kelapa dan tanaman lainnya.
Menurut Edvin, hal itu terjadi karena sedikitnya penelitian tentang perubahan iklim dengan lokasi dan sampel di Indonesia. Termasuk riset tentang standarisasi mitigasi perubahan iklim.
Baca: Leonardo DiCaprio Bertemu Trump, Bahas Perubahan Iklim
Dr Ari Mochamad, pembicara lainnya, menjelaskan dua hal yang harus dilakukan untuk memperkuat basis ilmiah perubahan iklim, yakni model dan pola pembangunan terkait rencana tata ruang dan wilayah, serta modal sosial.
Pada aspek pertama, kata Ari, dibutuhkan pelibatan masyarakat dan pendekatan bentang alam (landscape). "Ini antitesis dari pendekatan sektoral," kata penasehat di Program APIK, USAID.
Menurut Ari, salah satu variabel yang penting dalam menciptakan kebijakan tata ruang dan wilayah adalah penerimaan masyarakat, karena didalamnya berbicara mengenai struktur dan pola ruang yang ditetapkan. Pelibatan masyarakat, ujarnya, merupakan media edukasi untuk mewujudkan wilayah yang tangguh dalam merespon ancaman dan tekanan yang ada.
Ari menilai penyusunan rencana tata ruang di banyak daerah masih dilakukan sebagaimana biasanya, sangat elitis dan teknokratis. Mereka mempercayakan semata-mata hanya kepada pihak yang diasumsikan ahli dan berkepentingan terhadap keputusan serta kebijakan.
Tekanan publik agar kebijakan ini diadopsi sebagai komitmen bersama pun menjadi absurd karena mereka tidak tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh para pemangku-kepentingan.
Pada pendekatan berbasis bentang alam, masing-masing sektor kehidupan memiliki kekhususan, demikian pula masing-masing lokasi dan masyarakat serta ekosistem.
Pengelolaan yang terintegrasi antara wilayah hulu dan hilir yang diikat dalam suatu karakteristik ekosistem akan lebih mengenali potret potensi ancaman dan pengawasan serta pengendaliannya.
Pendekatan ini melihat lingkungan dan ekosistemnya sebagai kerangka yang lebih luas, yang didalamnya terkait dan menyangkut persoalaan dan tantangan ekonomi, sosial masyarakat.
Memang, beragam inisiatif pendekatan lanscape telah dimulai dengan kajian/studi ilmiah. "Sayang, perkembangan dan operasionalisasinya banyak yang mandek, jika tak mau disebutkan sebagai mati suri," ujar Ari yang juga menjabat Penilik Thamrin School.
Masalah utamanya adalah kentalnya pengaturan urusan publik dan pemerintahan yang dibatasi oleh wilayah politik dan administrasi. Hal ini berakibat pemerintahan suatu wilayah hanya memfokuskan pada kepentingan pemegang mandat politik dan administrasi wilayah.
Baca: Warga Sukabumi Kembangkan Pendeteksi Iklim Secara Mandiri
Edvin Aldrian berharap pemerintah dan dunia perguruan tinggi memperbanyak riset lokal perubahan iklim. Selain itu mengkaji mengenai standarisasi mitigasi perubahan iklim, seperti barang-barang kebutuhan rumah tangga.
"Negara yang menang adalah yang memiliki standar ramah lingkungan," kata Edvin, yang menjabat Direktur Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Dia mengusulkan ada keberpihakan dari kementrian dan lembaga. Misalnya Kementrian Keuangan yang memberi insentif atau pajak karbon.
Untuk agenda 2017, Ari Mochamad mengusulkan integrasi strategi kebijakan adaptasi dan pengurangan risiko bencana dan teknis adaptasi, menjadi tujuan strategi jangka pendek.
Proses ini menjadi bagian dalam pengembangan kerangka institutional dan proses politk, pengembangan stuktur mekanisme pendanaan dan pertukaran informasi antar para pemangku kepentingan.
Penyusunan rencana tata ruang wilayah yang memasukkan aspek kerentanan dan risiko perubahan iklim oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang, katanya, menjadi referensi penting sebagai basis informasi untuk diujicobakan pada wilayah lainnya.
Ari menjelaskan dukungan institusi seperti Bappenas dan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mutlak dibutuhkan. "Kedua lembaga ini berkepentingan agar perencanaan pembangunan ke depan mampu merespon ancaman perubahan iklim sehingga dapat membantu pencapaian target pembangunan serta membantu ketangguhan sebuah wilayah."
Pada Round Table Dialog Tatakelola Perubahan Iklim dan Sumber Daya Alam hari pertama itu menyajikan tiga sesi, yakni sains dan kebijakan perubahan iklim, perubahan iklim dan pembangunan kota berketahanan iklim, dan pendanaan perubahan iklim (pilihan pasar dan non-pasar).
Pada hari kedua, Kamis, 22 Desember 2016 akan menampilkan dua sesi. Yakni pengendalian kebakaran hutan dan tata kelola gambut; dan COP 22: kemajuan dan capaian.
Pembicara pada hari kedua adalah Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead, Dr Togu Manurung (dosen IPB dan Thamrin School Reader on Forestry Issues), Rachmat Witoelar (Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim) dan Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.
UNTUNG WIDYANTO