TEMPO.CO, Bandung - Yayasan Syamsi Dhuha merayakan Hari Penglihatan Sedunia (World Sight Day) dengan beragam acara amal di Bandung. Bertema Menjadi Mata Bagi Sesama, organisasi nirlaba tersebut membagikan 1.000 alat bantu bagi mereka yang penglihatannya terbatas, konsultasi mata dan psikologi secara gratis, juga pengumpulan sampah barang elektronik untuk didaur ulang.
Ketua yayasan tersebut Dian Syarief mengatakan, acara peringatan yang terbuka dan gratis bagi umum itu akan dihelat Sabtu, 15 Oktober 2016 di Gedung Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Jalan dr. Eykman Bandung. “Acara ini merupakan puncak serangkaian kegiatan yang telah dilakukan selama Oktober sebagai bulan peduli penglihatan,” katanya, Jumat, 14 Oktober 2016.
Pihaknya mengundang ratusan orang yang penglihatannya terbatas, perwakilan komunitas dan institusi pendukung penyandang disabilitas netra, para dokter. Artis Dewi Sandra rencananya bakal hadir untuk membacakan puisi dan bernyanyi.
Bersama para relawan dari kalangan mahasiswa, yayasan telah mengadakan kegiatan membacakan buku kepada orang dengan penglihatan terbatas. Kemudian bersama Lembaga Pemberdayaan Tunanetra di Surabaya, mereka menggelar pemeriksaan mata dan mencocokkan alat bantu penglihatan.
Selain di Surabaya, program itu berlanjut ke Mojokerto, Sidoarjo, dan Bojonegoro. “Ada anak yang spontan menjerit kegirangan saat dia bisa melihat tulisan angka di papan tulis dengan alat bantu teleskop,” katanya.
Berdasarkan catatan International Agency for the Prevention of Blindness (IAPB), wilayah Asia Tenggara dengan 11 negara memiliki 110 juta orang difabel netra dan penglihatan terbatas (low vision). Prevalensi kebutaan pada orang usia di atas 30 tahun tertinggi di Bangladesh, kemudian Indonesia, dan beberapa negara bagian di India (1,5 persen). Terendah di Thailand dan Sri Lanka, di bawah 0,5 persen dari total jumlah penduduk.
Katarak, kebutaan pada anak, low vision, glaukoma, dan retinopati diabetik, merupakan penyebab utama kebutaan. Akses layanan mata bagi penduduk yang mayoritas tinggal di pedesaan, menurut lembaga tersebut, masih menjadi tantangan karena para dokter kebanyakan berada di perkotaan.
ANWAR SISWADI