TEMPO.CO, Yogyakarta - Pemerintah Kabupaten Gunungkidul memperkirakan saat ini ada sekitar 25 ribu rumah warga tak layak huni di wilayahnya. Namun Pemerintah Kabupaten Gunungkidul mengakui sampai saat ini belum pernah mengalokasikan sendiri anggaran khusus dari APBD untuk mengurangi jumlah rumah tak layak huni tersebut.
"Belum pernah ada alokasi khusus untuk merehabilitasi rumah-rumah tak layak huni dari APBD," ujar Kepala Bagian Administrasi Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Gunungkidul Bambang Sukemi kepada Tempo pada Ahad, 22 Mei 2016.
Bambang menyatakan belum adanya anggaran khusus untuk merenovasi rumah tak layak itu karena berbagai hal. Salah satunya karena pemerintah daerah masih memprioritaskan pembenahan infrastruktur di wilayah kabupaten terluas se-DIY itu.
"Infrastruktur belum beres. Ini menyangkut kepentingan lebih luas," ujar Bambang. Selain itu, APBD daerah yang besarnya sekitar Rp 1,6 triliun—terkecil di DIY—juga dianggap tak akan cukup mempercepat pengentasan rumah-rumah tak layak huni yang tiap tahun jumlahnya terus bertambah. Tingginya angka rumah tinggal tak layak inilah yang turut menyebabkan status Gunungkidul masih menjadi kabupaten termiskin di DIY dengan angka kemiskinan mencapai 21,7 persen.
"Kalau warga merantau tak berhasil, biasanya pulang dan membangun rumah seadanya, asal bisa buat berteduh. Ini yang menyebabkan jumlahnya terus bertambah," ujar Bambang.
Baca Juga:
Wakil Ketua DPRD Gunungkidul Arif Wibawa mengatakan tak adanya alokasi renovasi rumah tak layak huni juga karena dilarang oleh pusat agar tak membebani APBD. "Pusat hanya memberi anggaran pendataan, bukan renovasi," ujar politikus asal Partai Keadilan Sejahtera itu.
Arif menuturkan, pada 2014, mereka sempat mencoba mengalokasikan hibah bantuan untuk bedah rumah, namun terganjal penyalurannya oleh UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mewajibkan penerima hibah berbadan hukum.
Pendataan pemerintah, rumah-rumah tak layak huni itu justru kebanyakan berada di wilayah zona utara yang selama ini dikenal subur. Dalam arti tak kekurangan air, musim tanam padi tak pernah putus, serta jarang mengalami bencana tahunan kekeringan yang melanda di tiap musim kemarau.
Rumah tak layak huni itu tersebar banyak, seperti di wilayah Kecamatan Gedangsari, Paliyan, Patuk, Playen, dan Ngawen. Pemerintah Kabupaten Gunungkidul kini hanya mengandalkan bantuan, baik dari program dua kementerian, yakni Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Sosial, serta ada Badan Zakat Nasional (Baznas) dan corporate social responsibility (CSR) perusahaan swasta.
"Meski tak banyak mengentaskan, bantuan luar ini cukup membantu," ujar Bambang Sukemi, Kepala Bagian Administrasi Kesejahteraan Rakyat Gunungkidul. Baznas yang tahun ini mengalokasikan bantuan untuk merehabilitasi 15 unit rumah tak layak huni dengan besar bantuan sekitar Rp 15 juta.
"Tahun ini kami arahkan program meniru Kabupaten Kulon Progo untuk bedah rumah, dengan melibatkan PNS sebagai bapak asuh," ujar Bambang.
Pemerintah Kulon Progo di bawah Bupati Hasto Wardoyo selama ini dikenal progresif dalam memerangi kemiskinan melalui berbagai program terobosan. Ia mengeluarkan aturan yang mewajibkan setiap bulan perusahaan, baik swasta maupun perusahaan daerah, di Kulon Progo menyisihkan 5 persen laba keuntungannya untuk pos dana CSR.
"Dana itu dipakai untuk melakukan renovasi rumah warga miskin agar tak membebani APBD atau APBN. Kurun dua tahun terakhir, sudah ada 600 rumah warga miskin direnovasi dengan dana CSR itu dengan besaran tiap rumah Rp 10 juta," ujar Hasto.
PRIBADI WICAKSONO