TEMPO.CO, Magelang - Kepala Vihara Mendut, Bhiku Sri Pannyavaro Mahathera menyampaikan pesan pada Dharma Santi Waisak di Taman Candi Borobudur, Sabtu malam, 21 Mei 2016. Bhiku Sri Pannyavaro menyebut pujangga besar Empu Tantular yang menerjemahkan moral cinta kasih dengan Bhineka Tunggal Ika.
Dalam lontar Sutasoma dikenal Siwa Buddha Bhineka Tunggal Ika. Pada zaman Kerajaan Majapahit ada dua agama yang berbeda, Siwa dan Buddha. Keduanya beda tapi terap tunggal. Hakikat kebenaran itu tunggal.
Apa yang disampaikan Empu Tantular, ucap Sri Pannyavaro, menggambarkan pentingnya perekat kebersamaan di semua lini kehidupan bangsa. Ada keindahan, kebersamaan yang tercermin pada kehidupan beragama dan segenap umat Buddha. "Tidak mungkin melebur jadi satu, tapi bagaimana menghormati dan menerima dengan tulus. Kemanusiaan adalah universal," kata Sri Pannyavaro.
Menurut dia, dunia diwarnai berbagai macam perbedaan dan perbedaan itu sering saling menghancurkan merupakan keniscayaan alami. Bhiku menyampaikan bahwa saat purnama sempurna dari candi agung, umat Buddha ingin berikan pesan moral Bhineka Tunggal Ika ke dunia.
Bhineka Tunggal ika menjadi jati diri dan sifat dasar Bangsa Indonesia hingga kini. "Itu muncul ratusan tahun sebelum ada karya Empu Tantular,"kata Sri Pannyavaro. Maka dari itu perlu kerja keras untuk menjaga bangsa agar menjadi bangsa yang tangguh dan berbudi luhur. Nasehat terakhir Gautama, kata Sri Pannyavaro, adalah berjuanglah dengan penuh kesadaran.
Sidharta, kata Sri Pannyavaro, melihat penderitaan di luar istana yang menggetarkan hati Sidharta tidak melihat dari kasta mana yang menderita dan dari umat beragama yang mana. Penderitaan itulah yang mengguncangkan Sidharta.
Sri Pannyavaro menerangkan, saat seseorang bergetar hatinya, tidak tahan melihat penderitaan orang lain, dan ingin melakukan sesuatu untuk orang lain, maka itulah sesungguhnya kasih sayang. "Lazimnya orang tidak tahan dengan penderitaan diri sendiri. Amat jarang mereka yang tidak tahan melihat penderitaan orang lain. Itulah manusia besar," katanya.
Lebih lanjut Sri Pannyavaro menuturkan, penderitaan yang dilihat Sidharta kemudian mengubah seluruh kehidupan. Sidartha meninggalkan kenikmatan dan kepentingan pribadi sebagai putra mahkota. "Ia hidup sengara di hutan dan 45 tahun kemudian Gautama mengajarkan darma," tutur Sri Pannyavaro.
Ia menjelaskan, berpesan moral cinta kasih menjadi landasan yang Gautama ajarkan. Moral yg menumbuhkan kepedulian kepada seluruhnya yg menderita. Moral menumbuhkan sikap tidak mau berbuat buruk dan tidak takut menghargai perbedaan. "Moral juga mengendalikan diri dari perbuatan buruk yang merugikan orang lain, lingkungan dan diri," ujar Sri Pannyavaro.
Moral juga bicara tanggung jawab dan jujur untuk kepentingan orang lain dan diri sendiri. Jika manusia tidak bisa membendung kebencian dan kemarahan, Gautama memberi nasehat agar manusia jangan karena marah dan membenci lalu mengharap orang lain celaka. "Moral cinta kasih meredam kebencian dan amarah, egoisme keakuan," kata SriPannyavaro mengutip nasehat Gautama.
SHINTA MAHARANI