TEMPO.CO, Jakarta - Pembicaraan soal tantangan yang dihadapi dalam menerapkan big data dan kaitannya dengan kebijakan pembangunan di Indonesia masih sedikit.
Padahal, di masa depan, kebijakan publik akan dibentuk oleh big data dan aplikasinya pada berbagai macam aspek kehidupan masyarakat seperti di sektor pendidikan, kesehatan, dan layanan publik lainnya.
“Data semakin memberikan pengaruh setiap harinya,” kata Chief Technical Officer RTI International, Luis Crouch, dalam forum internasional Data Revolution for Development di kantor Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, pada Rabu 20 April 2016.
Menurut Luis Crouch, dengan menggunakan data, kebijakan publik bisa didesain dan diimplentasikan lebih efektif dan tepat untuk mencapai sasaran. Data-data di bidang kesehatan, misalnya, bisa digunakan untuk mendesain layanan kesehatan yang lebih baik dan merata.
Masalahnya, big data atau kumpulan dataset skala besar saat ini masih menghadapi tantangan, seperti akses data berkualitas yang terkait sektor pembangunan, pemahaman dan pemanfaatannya bagi para pengambilan kebijakan, serta jangkauan dan implikasi data revolution for development dalam kebijakan sosial
Semakin besar kemiskinan dan ketidaksetaraan, kata dia, semakin banyak potensi manfaat yang didapat dari data. “Namun, data juga dapat memberikan dampak negatif dalam meningkatkan ketidaksetaraan, dan dapat pula menyesatkan. Jadi, potensi yang dapat dihasilkan oleh data sangatlah besar,” ujarnya.
Research Triangle Institute (RTI) adalah lembaga riset berkelas dunia dalam bidang kesehatan dan farmasi, pendidikan dan pelatihan, survei dan statistik, teknologi canggih, pembangunan internasional, kebijakan ekonomi dan sosial, energi dan lingkungan hidup, serta pengujian laboratorium dan analisis kimia. Mereka memberikan jasa riset dan teknis untuk pemerintah dan swasta untuk pembangunan.
Deputi Kantor Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho yang menjadi pembicara di forum itu mengatakan tanpa data yang akurat, tidak mungkin pemerintah bisa menetapkan kebijakan berbasis fakta yang akan menjawab masalah di masyarakat. “Tanpa fakta yang akurat, pemerintah tidak mampu mengatasi masalah yang kompleks di masa depan,” ujarnya.
Tantangan lainya adalah sulitnya mengubah cara pandang birokrasi Indonesia. Menurut Yanuar, selama ini birokrasi baik di pemerintah pusat maupun di daerah menggunakan cara pandang money follows function.
Istilah tugas pokok dan fungsi menggambarkan lebih penting fungsi daripada program. “Selama ini yang penting anggaran diserap, apakah ada hasilnya atau tidak, itu tidak pernah dipertanyakan,” kata dia.
Padahal, bila ada data yang cukup akurat, mudah bagi pemerintah untuk mengevaluasi keberhasilan atau kegagalan sebuah program yang didanai oleh pemerintah selama bertahun-tahun.
Karena itu, menurut dia, kini di era pemerintahan Joko Widodo hendak diubah cara pandang dan manajemennya. “Kini diubah menjadi money follows program,” kata dia.
Di akhir acara ini didemontrasikan sejumlah inovasi yang berbasis data, di antaranya Jakarta Smart City dan open data pemerintah Kota Banda Aceh.
Smart City adalah aplikasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memberikan masyarakat informasi kondisi Jakart.
Sedangkan open data pemerintah Kota Banda Aceh adalah portal data yang kini telah menyediakan 86 dataset dari sektor pendidikan, kesehatan, transportasi, dan sektor lainnya yang disajikan dalam format CSV. Data terbuka ini bisa dipakai untuk kebutuhan riset, pembuatan kebijakan, dan penulisan berita.
AHMAD NURHASIM