TEMPO.CO, Yogyakarta - Ketua Forum Koordinasi Penanggulangan Terorisme (FKPT) Daerah Istimewa Yogyakarta, Abdul Muhaimin, menilai Yogyakarta merupakan lokasi subur bagi penyebaran paham radikalisme yang menjurus ke aksi terorisme. Selain itu sikap permisif warga Yogyakarta juga menjadi salah satu hal yang bisa membuka jalan bagi penyebar paham aliran keras untuk menyebarkan ajarannya.
"Sejarahnya panjang sejak zaman Presiden Soeharto. Di kampus-kampus mahasiswa dioperasi akhirnya membuat klaster-klaster diskusi pendidikan nilai dasar Islam, ada Usroh, berkembang lagi ada Komando Jihad, itu sebetulnya sebuah polarisasi persoalan-persoalan politik yang kemudian menjadi perlawanan kekerasan baik wacana maupun fisik," kata Muhaimin, Jumat, 25 Maret 2016.
Muhaimin melanjutkan, di Yogyakarta yang merupakan kota pelajar, justru tumbuh organisasi-organisasi yang menjurus ke gerakan radikal, yang ujungnya melakukan aksi teror.
Belakangan, dalam pemberantasan terorisme, aparat keamanan masih melakukan tindakan pendekatan keamanan, bukan pendekatan yang bisa mencegah tindakan terorisme. "Dengan adanya rencana perubahan undang-undang terorisme, justru anggaran ditambah. Mindset-nya masih security approach, persoalan ideologi tidak selesai dengan pendekatan ini. Harusnya ada pendekatan yang lebih komprehensif," kata dia.
Sedangkan dari sisi pemberitaan aksi terorisme melalui media massa masih dinilai banyak yang kurang pas. Masih banyak berita yang memuat opini penulis atau medianya.
Willy Pramudya dari Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai, pemberitaan aksi terorisme banyak yang belum sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Datanya tidak akurat, pemberitaan yang hanya menonjolkan dramatisasi serta jauh dari hal mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat. "Banyak yang masih menggunakan opini," kata dia.
Media massa, kata dia, malah ikut menyebarkan teror atau ketakutan jika tidak cerdas menyajikan berita. Mereka bisa menimbulkan kepanikan pemirsa atau pembaca berita.
Ketua Dewan Pers Yoseph Stanley Adi Prasetyo dalam acara "Diseminasi Pedoman Peliputan Terorisme dan Peningkatan Profesionalisme Media Massa dalam Meliput Isu Terorisme", Kamis, 24 Maret 2016 menyatakan, meskipun terduga terorisnya sudah tewas, namun justru pesannya disampaikan melalui hasil liputan media massa. "Ini justru menimbulkan kepanikan masyarakat," kata dia.
Ia mencontohkan, aksi terorisme di kawasan Thamrin dan Sarinah Jakarta beberapa waktu lalu. Media massa saling berlomba memberitakan dengan cepat. Namun informasi yang didapat dan disampaikan justru masih simpang siur dan kurang akurat karena tanpa konfirmasi dan verifikasi yang benar.
"Kalau di luar negeri justru yang di kantor itu yang muda-muda. Yang di lapangan justru yang sudah senior dan mempunyai jam liputan sangat tinggi," kata dia.
MUH SYAIFULLAH