TEMPO.CO, Bandung - Minimnya dana riset dan mahalnya ongkos pemeliharaan membuat Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tidak melanjutkan pembuatan buoy tsunami. Pada 2006 BPPT sempat memasang buoy buatan sendiri, tapi hanya berumur lima tahun.
"Dulu kami menganggap success story adalah berhasil membuat buoy tsunami. Namun BPPT tidak sanggup mengurusi hal yang sifatnya (pemeliharaan) rutin karena tidak punya anggarannya," kata seorang peneliti BPPT, Udrekh Hanif, di Bandung.
Baca juga:
Menurut Udrekh, belakangan ada dua biaya dalam anggaran yang tidak ada lagi. Pertama, biaya perawatan buoy di lautan. "Sekali kapal berlayar untuk memperbaiki selama lima hari sudah menghabiskan dana Rp 1 miliar," ujarnya saat diskusi tentang gempa dari Samudra Hindia di ITB, Kamis, 10 Maret 2016. Biaya kedua adalah ongkos komunikasi alat yang tinggi karena pengiriman datanya via satelit.
Pada 2006, BPPT memasang delapan unit buoy tsunami di sejumlah lokasi, seperti Samudra Hindia atau barat Simeulue di Aceh, kemudian lautan Mentawai, dan barat Bengkulu. Adapun pada bagian selatan, dari Pelabuhan Ratu di Sukabumi, Cilacap, Bali, Laut Flores, Laut Maluku, dan Laut Banda.
Buoy yang dipasang terapung pada jarak 800 kilometer dari tepi pantai, kata Udrekh, menjadi korban vandalisme atau pencurian. Kini, tak ada lagi buoy milik Indonesia yang bekerja di perairan lepas. Indonesia yang rawan gempa dan tsunami hanya bisa mendeteksi empat unit buoy aktif milik negara lain di wilayah perairan Nusantara.
Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT pernah membuat hitungan biaya. Untuk memasang empat unit buoy tsunami berupa dua unit hasil beli dari luar negeri dan dua unit buatan sendiri, biaya pengadaan alatnya Rp 20 miliar. Biaya itu mencakup pembuatan buoy per unit oleh BPPT sebesar Rp 4 miliar dan pembelian alat impor Rp 6 miliar.
Adapun biaya operasi kapal layar untuk pemasangan empat titik buoy selama 80 hari termasuk ongkos pemeliharaan darurat berkisar Rp 10 miliar. Total anggaran yang perlu disiapkan pemerintah adalah Rp 30 miliar per empat unit buoy tersebut di tahun pertama. Pada tahun-tahun berikutnya, dengan penambahan dua unit buoy baru dan pemeliharaan alat, dibutuhkan dana sekitar Rp 16 miliar per tahun.
Kini ,peneliti di BPPT bersama lima institusi atau lembaga lain tengah merintis pengembangan buoy pendeteksi tsunami jenis lain, yakni cable based tsunameter (CBT).
Perangkat generasi ketiga itu dirancang baru dan berbiaya lebih murah. Alat itu akan dipasang di laut sedalam 4.000-6.000 meter, tidak lagi mengapung di permukaan seperti buoy sebelumnya, serta terhubung kabel listrik dan data. "Ini solusi mahalnya biaya perawatan dan terhadap vandalisme alat," katanya.
Pakar gempa dari ITB, Irwan Meilano, mengatakan sensor tsunami bawah laut itu sangat penting untuk peringatan dini bencana. Ia berharap pemantauan tsunami tidak lagi memakai cara lama dengan menunggu hasil pemantauan ketinggian air laut di tepi pantai.
ANWAR SISWADI