TEMPO.CO, Yogyakarta - Aktivis komunitas Warga Berdaya Yogyakarta, Dodo Putra Bangsa, menggelar ritual tunggal. Dia menjamas dan meruwat diri di depan trotoar Balai Kota Yogyakarta, Jumat, 5 Februari 2016.
Ritual itu dilakukan untuk mengingatkan pemerintah dan warga Kota Yogyakarta agar pengendalian pembangunan hotel dilakukan secara konkret, bukan sekadar wacana. “Tahun 2016 ini moratorium hotel berakhir. Kami mendesak pembatasan hotel dipermanenkan melalui peraturan daerah,” kata Dodo.
Layaknya prosesi jamasan dan ruwatan dalam tradisi Jawa, Dodo, yang selama ini gencar menentang maraknya pembangunan hotel di Kota Yogyakarta, melakukan siraman mandi kembang. Sebuah poster dari kardus bertulis “Jogja Ora di Dol” disematkan di taman depan Balai Kota Yogyakarta.
Air yang disiram ke tubuh aktivis tersebut merupakan air kembang tujuh rupa dan air sumur dari tujuh titik di Kampung Miliran, Umbulharjo, yang ditempatkan di gentong. Lalu, bergiliran diguyurkan oleh sejumlah aktivis ke tubuh Dodo yang duduk bersila dan berpakaian adat.
Kampung itu, pada 2014, sempat geger karena puluhan sumurnya mengering. Belakangan diketahui, ada hotel yang menyedot air tanah dangkal untuk memenuhi sumber airnya. Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta lantas menyegel sumber air hotel itu.
Baca Juga:
Dodo mengatakan ritual jamasan dan ruwatan diri dilakukan untuk mengingatkan warga Yogya bahwa 2016 merupakan tahun politik. Pada masa ini, kepemimpinan Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti berakhir. Pada Februari 2017, Kota Yogya kembali menggelar pemilihan kepala daerah. “Pemimpin ke depan harus lebih berkomitmen pada lingkungan,” ujarnya.
Aktivis Komunitas Warga Bedaya lain, Dwi Rahmanto, menambahkan, warga sering bingung dengan kebijakan moratorium hotel yang tertuang dalam Peraturan Wali Kota Nomor 77 Tahun 2013 tentang Pengendalian Pembangunan Hotel, yang berlaku sejak awal 2014. “Moratoriumnya ada, tapi pembangunan hotel jalan terus, malah semakin banyak,” ujarnya.
Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kota Yogyakarta Basuki Hari Saksana memaklumi kebijakan pengendalian hotel melalui peraturan wali kota menjadi polemik. “Sejak awal, kami ingin membatasi pengendalian hotel itu melalui kebijakan seperti perda. Namun akan bertentangan dengan undang-undang persaingan usaha,” katanya.
Basuki menuturkan, meski sudah ada sekitar 500 lebih unit hotel di Kota Yogyakarta, kondisinya masih kurang untuk menampung wisatawan saat high season. “Moratorium saat itu dikeluarkan karena mulai muncul persaingan tidak sehat. Pertumbuhan hotel hanya berfokus di titik tertentu dan tidak merata,” ujarnya.
Bila melalui perda pembatasan hotel tak mungkin, karena pemerintah bisa dituding menghalangi investasi, opsi yang sedang disiapkan ialah strategi perlindungan kawasan melalui peraturan daerah pengembangan dari perda rencana detail tata ruang kota (RDTRK), yang sudah disahkan pada 2015. “Dari perda RDTRK kami siapkan aturan tata letak bangunan. Jadi bangunan komersial bisa ditolak,” ucapnya.
Kepala Dinas Perizinan Kota Yogyakarta Hari Karyawan sebelumnya menuturkan pemerintah berencana terus memberlakukan moratorium itu hingga 2016, atau ketika masa pemerintahan Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti berakhir.
Menurut Hari, meski moratorium diberlakukan, bukan berarti tak ada pembangunan hotel baru. Sebab, hotel-hotel baru yang dibangun itu permohonannya sudah masuk dan diproses sebelum kebijakan diberlakukan.
PRIBADI WICAKSONO