TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah akhirnya merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan pemerintah akhirnya memilih merevisi, bukan menerbitkan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang karena beberapa alasan.
"Akan terjadi perdebatan hangat kalau Perpu. Kegentingan memaksa yang seperti apa," katanya seusai rapat terbatas mengenai UU Antiterorisme di Kantor Presiden, Kamis, 21 Januari 2016.
Alasan kedua, kata dia, jika pemerintah menerbitkan Perpu dan ditolak DPR, upaya penguatan undang-undang tindak pidana terorisme akan sia-sia. Yasonna mengatakan, dalam revisi undang-undang, masih ada ruang untuk dialog dengan parlemen. "Kalau Perpu, (jika) DPR tidak setuju, nanti langsung batal semua. Sudah capek-capek kita buat, ditolak bubar semua. Kalau revisi kan ada dialog, dialektika berpikir," ujarnya.
Topik Terkait:
Revisi UU Antiterorisme
Yasonna mengatakan pemerintah sudah bersepakat dengan DPR mempercepat proses revisi Undang-Undang Antiterorisme ini. Menurut dia, proses revisi selesai paling lambat dalam dua masa sidang. "Saya kira bisa kami selesaikan secepatnya," katanya. Pemerintah akan menyiapkan draf untuk segera dikirim ke DPR.
Beberapa poin yang diusulkan untuk direvisi, pertama, pencabutan status kewarganegaraan dan paspor bagi WNI yang pernah mengikuti latihan terorisme. Kedua, penambahan masa penahanan selama masa penyelidikan atau penyidikan. Ketiga, pemberian persetujuan alat bukti terkait dengan terorisme yang semula harus diberikan ketua pengadilan negeri menjadi oleh hakim pengadilan.
ANANDA TERESIA