TEMPO.CO, Indramayu-Rumah orangtua Ahmad Muhazan alias Azan yang terletak di RT 04/ RW 01 Blok Desa, Desa Kedungwungu, Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu memprihatinkan. Azan adalah salah seorang pelaku teror bom di kawasan Jalan M.H. Thamrin yang meledakkan diri di gerai Starbucks pada Kamis pekan lalu.
Ubin lantai rumah tersebut banyak yang mengelupas dan berdebu. Dindingnya pun telah lapuk. Tak banyak perabotan di dalam rumah tersebut. Di rumah sederhana itulah pasangan Syahroni, 55 tahun, dan Maemunah, 52 tahun, tinggal.
Pasangan itu dikaruniai lima anak. Azan merupakan anak ketiga. Untuk menghidupi keluarganya, Syharoni bekerja sebagai buruh tani. Namun sejak beberapa tahun lalu Syahroni lumpuh akibat stroke dan komplikasi. Ia hanya bisa terbaring lemah di atas tempat tidur.
Untuk menyambung hidup, Maemunah membuka warung kecil-kecilan di depan rumahnya. Namun karena modalnya terbatas, Maemunah hanya bisa berjualan makanan ringan.
Miftah Hariri, seorang tetangga Maemunah, mengatakan orang tua Azan memang tergolong tidak mampu. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, kata dia, mereka lebih banyak dibantu oleh anak-anaknya. Anak pertama pasangan tersebut telah menikah dan tinggal di Subang. “Tapi jarang pulang,” kata Miftah.
Sedangkan anak kedua tinggal bersama suaminya dan membuka usaha vulkanisir ban di Jakarta Timur. Sekitar 2011 hingga 2012 Azan pernah ikut di tempat usaha kakak iparnya tersebut.
Adik lakik-laki Azan juga telah menikah. Namun ia harus bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Adapun adik bungsu Azan, perempuan, memilih berhenti dari pelayan di sebuah toko makanan ringan untuk merawat ayahnya. “Azan sering pulang, terutama sejak ayahnya sakit,” kata Miftah.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Indramayu dari daerah pemilihan Kecamatan Krangkeng, Azun Mauzun, mengaku prihatin dengan kondisi perekonomian keluarga Azan yang sempat mengandalkan pemasukan dari buruh tani. “Upah buruh tani harian di sini rata-rata Rp 50 ribu per hari,” kata Azun.
Krangkeng, menurut Azun, termasuk daerah yang kurang subur. Areal pertaniannya digarap dengan mengandalkan sistem tadah hujan, sehingga rata-rata hanya panen sekali dalam setahun.
Keterbatasan ekonomi itulan, kata Azun, yang menyebabkan orang tuanya menyekolahkan Azan ke Pondok Pesantren Miftahul Huda di Subang tanpa biaya. Azun menduga kesulitan ekonomi itu turut menjerumuskan Azan pada kelompok aliran radikal hingga akhirnya terseret ke dalam jaringan pelaku teror bom di Jalan Thamrin, Jakarta.
IVANSYAH