TEMPO.CO, Bandung - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung membebaskan terdakwa korupsi pengadaan gedung Bank Jabar Banten Wawan Indrawan. Wawan dinyatakan bebas dari segala tuntutan jaksa penuntut umum yang mendakwa mantan Kepala Divisi Umum BJB ini telah melakukan penyelewengan dana pembangunan gedung BJB di Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
"Mengadili, terdakwa Wawan Indrawan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan primer dan subsider. Maka dari itu, terdakwa dibebaskan dari tahanan, dan dipulihkan hak dan martabatnya," ujar ketua majelis hakim Naisyah Kadir saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Bandung, Senin, 14 Desember 2015.
Putusan tersebut, secara langsung menggugurkan semua tuntutan jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung tersebut. Sebelumnya, jaksa menuntut Wawan dengan hukuman penjara 12 tahun dan denda Rp 1 miliar. Jaksa menilai, Wawan yang saat itu merangkap jabatan sebagai ketua tim pengadaan tanah, telah melabrak sejumlah prosedur pembangunan Gedung BJB. Sehingga, perbuatan Wawan tersebut telah mengakibatkan negara merugi Rp 217 miliar.
Namun, majelis hakim yang beranggotakan Eko Aryanto dan Marsidin Nawawi ini menilai Wawan tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Ketua majelis hakim Naisyah Kadir mengatakan, perbuatan Wawan tidak bertentangan dengan hukum dan tidak ada unsur melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri."Tidak terdapat indikasi terdakwa telah melakukan perbuatan menguntungkan diri sendiri," kata Naisyah.
Sebelumnya, jaksa pada dakwaanya menilai, dalam proyek pembangunan gedung tersebut, Wawan telah mengabaikan sejumlah prosedur. Diantaranya terkait keabsahan lokasi yang akan dibuat gedung. Wawan dinilai telah melanggar pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, jaksa menilai kesalahan terdakwa dalam kasus ini adalah telah menabrak prosedur tentang pengadaan tanah. Seperti status tanah yang diduga milik perusahaan lain sehingga rawan sengketa, harga tanah yang jauh di atas harga pasar, hingga pembayaran uang muka yang menyalahi ketentuan. Bahkan, berdasarkan audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan kasus tersebut terindikasi telah merugikan keuangan negara.
Namun, lagi-lagi majelis hakim tak sependapat dengan dakwaan tersebut. Menurut majelis hakim, dalam proses pembayaran proyek gedung tersebut telah dilakukan dengan transparan dan akuntabel. "Tidak ada penggelembungan anggaran dan tidak ada penyelewengan anggaran," ujar Naisyah.
Saat mendengar putusan hakim, Wawan yang berdiri di depan kursi pesakitan, langsung melakukan sujud syukur. Air matanya tak terbendung. Sementara itu, para pengunjung persidangan yang mayoritas merupakan keluarga dan rekan Wawan di BJB tampak girang. "Alhamdulillah, ini kuasa Allah," ujar Wawan saat dihampiri wartawan.
Semnatara itu, jaksa penuntut umum belum memutuskan apakah akan melakukan kasasi atau tidak atas putusan tersebut. Pihaknya mengatakan, akan konsultasi terlebih dahulu dengan tim di Kejaksaan Agung. "Nanti kami konsultasikan dulu," ujar jaksa Fauzal.
Kasus ini bermula ketika manajemen Bank BJB setuju membeli 14 dari 27 lantai T-Tower yang rencananya dibangun di Jalan Gatot Subroto Kaveling 93, Jakarta. Tim BJB bernegosiasi dengan Comradindo, perusahaan teknologi informasi yang mengklaim sebagai pemilik lahan Kaveling 93.
Setelah menggelar beberapa kali pertemuan, tim menyepakati harga pembelian tanah sebesar Rp 543,4 miliar. Rapat direksi kemudian setuju membayar uang muka 40 persen atau sekitar Rp 217,36 miliar pada 12 November 2012. Sisanya, dicicil senilai Rp 27,17 miliar per bulan selama setahun.
Namun ditemukan sejumlah kejanggalan dalam transaksi tersebut. Misalnya, status tanah yang diduga milik perusahaan lain sehingga rawan sengketa. Kejanggalan lain, harga tanah jauh di atas harga pasar, hingga pembayaran uang muka yang menyalahi ketentuan.
IQBAL T. LAZUARDI