TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Bidang Hukum dan Etik Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Bahtiar Husain, mengeluarkan edaran terkait dengan isu selingkuh dokter dan farmasi yang dimuat di majalah Tempo edisi 2 November 2015. Surat ini merupakan penegasan mengenai pedoman hubungan kerja sama dokter dan farmasi.
"Dalam kode etik kedokteran Pasal 3, disebutkan bahwa dalam melakukan pekerjaan, kedokterannya seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi yang mengakibatkan hilangnya kebebasan berprofesi," kata Bahtiar dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Jumat, 13 November 2015.
BACA: EKSKLUSIF, Suap Dokter: Begini Akal-akalan Orang Farmasi
Ada dua poin yang dijelaskan dalam pasal ini. Penjelasan pertama, dokter dapat menerima bantuan dari pihak sponsor untuk keperluan keikutsertaan dalam temu ilmiah mencakup pendaftaran, akomodasi, dan transportasi. Kedua, pemberian sponsor harus dibatasi pada kewajaran dan dinyatakan secara jelas tujuan, jenis, waktu, dan tempat kegiatan, serta dilaporkan kepada pimpinan organisasi profesi setempat untuk diteruskan kepada Ikatan Dokter Indonesia.
Yang menjadi permasalahan ialah apabila ada imbalan dari perusahaan farmasi kepada dokter. Artinya, gratifikasi diterima aparatur kementerian kesehatan yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban tugas penerima. Cashback yang didapatkan juga bukan diberikan untuk swasta, melainkan untuk kepentingan pribadi. Gratifikasi terkait dengan pengadaan barang dan jasa, pelayanan publik, atau proses lainnya. Serta, sponsorship terkait dengan pemasaran atau penelitian suatu produk.
BACA: Suap Obat, Dokter Teddy Sebut Semua Farmasi Sama
Kemudian, sejauh mana gratifikasi yang dimaksudkan kemudian diterangkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan tahun 2014. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa suatu transaksi atau kegiatan tidak menjadi gratifikasi apabila diterima secara resmi oleh aparatur Kementerian Kesehatan. Kedua, pemberian tidak terkait dalam suatu kegiatan dinas. Serta, sponsorship yang diberikan untuk kegiatan pengembangan institusi dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Dalam majalah Tempo edisi 2 November 2015 dibeberkan mengenai kasus suap dokter. Dalan laporan ini disebutkan bahwa terjadi gratifikasi dari perusahaan farmasi kepada dokter. Sebanyak 2.125 dokter juga diduga menerima suap hingga Rp 131 miliar. Kementerian Kesehatan juga telah merespons hal ini dan mengatakan akan menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi.
MAWARDAH NUR HANIFIYANI