TEMPO.CO, Bandung - Terhitung 10 November 2015, Jalan Cikapundung Timur, yang berada tepat di samping Gedung Merdeka, berubah nama menjadi Jalan Dr Ir Sukarno. Peresmian tersebut dilakukan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil bersama Ketua Yayasan Bung Karno, Guruh Irianto Soekarno Putra, dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli.
Nama Sang Proklamator di papan jalan tersebut ditulis dengan ejaan Sukarno, bukan Soekarno seperti yang kebanyakan diketahui masyarakat Indonesia. Putra bungsu Bung Karno, Guruh Soekarno Putra, menjelaskan alasan mengapa nama ayahnya sering ditulis dengan ejaan Soekarno. Padahal ejaan tersebut adalah ejaan dari bahasa kolonial Belanda.
"Supaya masyarakat Bandung mengetahui. Soal nama di dunia politik itu bisa diolah-olah atau digoreng-goreng," kata Guruh, Selasa, 10 November 2015.
Guruh mengatakan pada masa pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, nama besar Sukarno kerap dipolitisasi untuk menggaet dukungan dari para pemuja sang Putra Fajar.
"Pemerintah Orde Baru kalau memberikan penghargaan kepada Bung Karno pasti ada maksudnya, dan keluarga selalu waspada. Pada waktu Orde Baru manakala menjelang pemilu, tentu ada upaya yang kedengarannya menghargai Bung Karno," ujarnya.
Dalam sebuah buku, Bung Karno pernah mengatakan tulisan yang benar untuk menulis namanya adalah menggunakan "u", bukan "oe". Namun karena dalam tanda tangan proklamasi namanya sudah terlanjur ditulis menggunakan ejaan Belanda dengan "oe" sebagai pengganti huruf "u", maka hingga saat ini Sukarno sering ditulis Soekarno.
"Remeh sebenarnya tentang penulisan nama Sukarno. Padahal bisa dibaca di otobiografi Bung Karno bahwa sejak merdeka, Indonesia punya bahasa nasional. Tentunya ada aturan. Ejaan sekarang kita menganut EYD, dalam penulisan ‘u’ kita menulis ‘u‘ bukan ‘oe’. Itu ejaan Belanda," sambungnya.
Pemerintah Orde Baru, kata Guruh, juga ikut andil dalam penulisan nama Sukarno menjadi Soekarno. Menurut Guruh, kebiasaan presiden kedua Republik Indonesia menulis namanya Soeharto, bukan Suharto, ikut mengubah persepsi masyarakat terhadap penulisan nama Sukarno.
"Nama Bung Karno oleh wartawan kembali ditulis Soekarno. Sebagai warga Indonesia Bung Karno mengamanatkan untuk menganut Sumpah Pemuda butir ketiga, menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia," imbuhnya.
Pada masa Pemilu 1982, Orde Baru membuat bangunan monumental. Sebuah bandar udara internasional di Cengkareng. Tidak hanya menggunakan nama ejaan Belanda Soekarno, disematkan pula nama Mohammad Hatta sehingga menjadi Bandara Soekarno-Hatta.
Apa daya, kata Guruh, saat itu keluarga Bung Karno tidak bisa mengkritik kebijakan karena dibungkam Orde Baru. Imbasnya hingga saat ini nama Soekarno-Hatta sudah seperti satu orang dan melekat di masyarakat hingga beberapa generasi. Itulah alasan mengapa hingga saat ini tidak pernah ada satu pun jalan di Indonesia yang menggunakan nama Sukarno tunggal. Pasti selalu Soekarno-Hatta.
"Apa-apa Soekarno-Hatta. Saya pernah mengobrolkan dengan keluarga Bung Hatta. Kasihan Pak Hatta, namanya hanya jadi embel-embel Sukarno," tuturnya.
PUTRA PRIMA PERDANA