TEMPO.CO, Jakarta - Bukannya untung, bisnis pengelolaan hutan yang dimiliki Bung Tomo sejak sekitar 1979 malah mendatangkan buntung. Gara-garanya, rekanan bisnis dari Korea Selatan menilep hasil penjualan kayu milik pejuang bernama lengkap Sutomo.
Istri Bung Tomo, Sulistina ingat betul bagaimana orang-orang Korea yang dimotori pengusaha bernama Choi Myeong Haeng berbuat culas. "Duit perusahaan dipakai buat belanja keperluan pribadi, bayangkan," ujar wanita yang 24 Oktober lalu genap berusia 90 tahun itu saat ditemui Tempo pada medio Oktober kemarin.
Hak pengusahaan hutan ini diperoleh secara cuma-cuma dari Kementerian Kehutanan. Karena tak punya kemampuan mengelola, hutan seluas 115 ribu hektare di Sintang, Kalimantan Barat itu digarap bersama rekanan asal Korea Selatan, Ahju Forestry Corporated Limited.
Tapi, Tien tahu belakangan Choi curang setelah mengecek buku kas perusahaan ketika Bung Tomo sempat tak aktif di perusahaan karena masuk penjara Nirbaya pada 1978. Mulanya suaminya meminta agar perjanjian dengan Choi dicek ulang.
Dalam sebuah surat di buku Romantisme Bung Tomo, suaminya itu menanyakan soal jaminan keuntungan pengelolaan hutan yang dijanjikan baru diberikan pada tahun kedua. Merujuk catatan Bung Tomo, perusahaan patungan itu sudah mengekspor 6000 meter kubik kayu Meranti senilai US$ 50 per meter kubik. “Totalnya US$ 300 ribu, kita dapat apa?” kata Bung Tomo dalam surat tersebut.
Bung Tomo sudah curiga dengan laporan Choi itu. Dari surat kabar yang dibacanya, harga balok Meranti mestinya US$ 58 per meter kubik. Artinya, perusahaan menjual di bawah harga. “Tanyakan apakah hal tersebut dibenarkan pemerintah? Bila perlu, biar Ir. Priyono mengurus langsung mengenai hal itu dengan Choi. Berapa profit kita setiap meter kubik,” tulis Bung Tomo.
Kecurigaan itu rupanya berbuntut panjang. Bung Tomo cekcok dengan Choi karena menganggap rekanannya itu ngemplang pendapatan perusahaan. Akibatnya, sepanjang Januari-Juni 1981, sekitar 200 buruh di lokasi terlunta-lunta karena gajinya tak dibayar. Sengketa itu mengakibatkan Bank Dagang Negara cabang Pontianak memblokir duit perusahaan senilai Rp 1 miliar.
Bambang Sulistomo, putra kedua Bung Tomo, mengakui belakangan keluarganya sadar ada perhitungan yang salah. “Dari hasil konsultasi dengan teman-teman, mestinya kami bisa dapat US$ 5-10 per meter kubik karena HPH itu kan harusnya jadi aset kami, tapi malah enggak dapat apa-apa,” ujarnya. Apesnya, belum sempat mengubah perjanjian, Bung Tom keburu mangkat pada 7 Oktober 1981.
Tepat setahun kemudian, Sulistina baru tahu bahwa porsi kepemilikan 30 persen yang dimilikinya itu menyisakan utang. Status tersebut diketahuinya setelah pemerintah menerbitkan ancaman pencabutan izin usaha kepada 127 pemegang HPH termasuk PT Ahju Balapan karena dianggap melalaikan kewajiban peremajaan dan menunggak iuran hasil hutan (IHH).
Jumlah tunggakan IHH yang harus ditanggung Sulistina kala itu sebesar Rp 100 juta. Tak butuh pikir panjang lagi, demi menutup kewajiban, ia melepas hak konsesi tersebut. “Setelah bapak meninggal, ya, saya jual.”
TIM TEMPO