Pengamat politik Philips Jusario Vermonte mengatakan bahwa tragedi di seputar tahun 1965 sudah lama terjadi. Masyarakat membutuhkan informasi yang lebih terang mengenai sejarah peristiwa itu. Sehingga tidak semestinya upaya dialog terkait tragedi 1965 dilarang. Kini saatnya masyarakat memahami peristiwa tersebut secara komprehensif melalui diskusi. "Yang penting kita memfasilitasi agar terjadi diskusi yang satu, saling menghormati, kedua juga berbasis pada pemahaman yang komprehensif bukan parsial," kata Ketua lembaga survei CSIS ini.
Protes juga datang dari Aliansi Jurnalis Independen Indonesia yang menuding polisi telah pengekangan untuk berpendapat dan berekspresi. Polisi secara terang-terangan telah menyabotase janji-janji Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ketua Umum AJI Indonesia, Suwarjono mengatakan bahwa selain di Ubud Festival, polisi juga telah melakukan serangkaian pelarangan terkait kasus 1965. "Pengekangan HAM mulai dari penangkapan Tom Iljas, pelanggaran penerbitan Lentera, hingga intimidasi panitia acara Ubud Writers and Readers Featival di Bali," ujarnya.
SIMAK: Pelarangan Refleksi G-30-S di Ubud Writers Dikutuk
Tom Iljas, 77 tahun, salah satu anggota Diaspora Indonesia di Swedia, dideportasi ke negaranya dan dicekal setelah ziarah ke makam ayahnya yang menjadi korban peristiwa 1965 di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Kemudian Oktober lalu, Majalah Lentera terbitan Lembaga Pers Mahasiswa Lentera, Salatiga, dibredel karena mengangkat tema utama mengenai kasus pembantaian pasca gerakan 30 September 1965.
LARISSA HUDA/DESTRIANITA K./TIKA PRIMANDARI