TEMPO.CO, Jember - Kalangan petani tembakau mengaku kecewa dengan tata niaga komoditas tembakau. Keuntungan yang mereka peroleh acap kali tergerus akibat sistem kartel dari para penentu harga. "Mestinya kita bisa dapat harga lebih tinggi," ujar Yanuar, Ketua Kelompok Tani Sidodadi, Kecamatan Sukodadi, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Rabu, 28 Oktober 2015.
Yanuar menjelaskan, tembakau merupakan komoditas bernilai tinggi di pasaran. Untuk setiap hektare lahan tembakau yang digarap, para petani bisa meraup keuntungan lebih dari Rp 100 juta. Namun keuntungan itu harus mereka bagi rata dengan para tengkulak agar barang yang mereka jual bisa terserap industri tembakau. "Tak banyak yang mampu menembus pintu gudang," ucap Yanuar.
Menurut Yanuar, keterikatan dengan para tengkulak merupakan pilihan yang sulit ditawar. Mayoritas petani memanfaatkan jalur distribusi mereka dengan patokan harga yang nyaris tak memiliki banyak pilihan. Apalagi bagi mereka yang memulai pertaniannya dari modal para tengkulak. "Untuk setiap hektare lahan dibutuhkan modal Rp 40 juta. Makanya tak banyak yang berani mengambil risiko," katanya.
Pernyataan Yanuar ikut diperkuat oleh hasil survei Muhammadiyah Tobacco Control Center. Penelitian di tiga provinsi sentra penghasil tembakau menyatakan setengah petani tembakau menilai komoditas tembakau bukan bisnis yang menguntungkan. "Pertanian ini sangat bergantung pada cuaca dan monopoli harga oleh industri tembakau," ujar peneliti MTCC, Fauzi Ahmad Noor.
Menurut Fauzi, dua faktor dominan yang mempengaruhi persepsi petani tembakau adalah kendali harga dan monopoli industri (86 persen) serta cuaca yang tidak menguntungkan. Para petani tembakau umumnya berhadapan dengan risiko kerugian besar jika salah memproses tembakau kering. "Sekali tersiram hujan, semua tembakau mereka bisa menjadi sampah," ucapnya.
Baca Juga:
Peneliti dari Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, Sayuti, menyatakan potensi kerugian petani juga ikut dipengaruhi kebijakan importasi tembakau. "Hampir setengah kebutuhan tembakau nasional disuplai dari luar," katanya. Akibatnya, harga jual tembakau lokal merosot tajam. "Tata niaga yang dikembangkan cenderung merugikan petani."
RIKY FERDIANTO