TEMPO.CO, Jakarta - Sedikitnya seratus aktivis dari lintas sektor mengutuk tindakan pemerintah daerah dan aparat kepolisian Gianyar, Bali, yang melarang pelaksanaan sejumlah agenda refleksi sejarah tentang pembantaian dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 dalam acara Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2015.
“Bukannya mendorong terjadinya rekonsiliasi, tapi justru negara terlihat masih ketakutan,” kata aktivis dari Komunitas Seni Indonesia, Aquino Hayunta, yang tergabung dalam aksi mengutuk tindakan pembatasan kebebasan berpendapat, saat dihubungi Tempo, Sabtu, 24 Oktober 2015. Menurut dia, sampai saat ini, sikap represif era Orde Baru masih sering dijumpai dalam banyak kasus di Indonesia.
Kejadian pelarangan tiga agenda UWRF di Bali, ucap Aquino, menunjukkan pemerintah sangat represif. Padahal, jika dilihat konteksnya, semua kegiatan tersebut dilakukan untuk membuka sejarah bangsa. Terlepas itu luka lama atau tidak, ujar dia, kebenaran harus ditunjukkan kepada anak-cucu bangsa.
Dia juga tidak melihat adanya proses penanaman ideologi komunisme dalam kegiatan tersebut. Jadi, alasan pemerintah, kepolisian, dan TNI melarang kegiatan tersebut tak masuk akal. “Kami mendesak agar acara tersebut diberi izin untuk diselenggarakan,” tuturnya.
Bersama berbagai aktivis dari berbagai kalangan, seperti seniman, wartawan, dan penulis, Aquino mengaku saat ini intensitas penyerangan terhadap kebebasan berekspresi kian tinggi. Ada upaya dari pemerintah secara intens selayaknya rezim Orde Baru.
Dari catatannya, ada sejumlah kasus pembungkaman kebebasan berpendapat dalam seminggu terakhir. Di antaranya kasus Tom Iljas di Sumatera. Tom mendapatkan teror dari pemerintah lantaran mengunjungi makam ayahnya yang menjadi salah satu korban pembantaian.
Tak berapa lama, mencuat kasus penarikan majalah Lentera di Salatiga, Jawa Tengah, yang dilakukan kepolisian setempat. Majalah yang diterbitkan lembaga pers mahasiswa ini dibredel setelah mengangkat topik G-30-S. “Ada juga peristiwa lain yang menyangkut kebebasan berekspresi,” katanya.
Karena itu, ia meminta Presiden Joko Widodo melakukan perlindungan dan menjamin para korban intimidasi. Ia juga meminta pengkajian dan penyelidikan tragedi G-30-S sebagai ujung rekonsiliasi sejarah. “Keluarga korban pembantaian juga harus mendapat keadilan.”
AVIT HIDAYAT