TEMPO.CO , Yogyakarta: Pakar politik Universitas Gadjah Mada Arie Sujito mengkritik Partai NasDem yang elitenya terjerat kasus korupsi padahal partai itu baru satu kali pemilihan umum.
"Omong anti korupsi tapi prakteknya tidak terinternalisasi ke kader-kadernya sebagai basis nilai. Banyak partai besar lain juga sama," kata Arie kepada Tempo seusai menjalani ujian untuk meraih gelar doktoralnya di Fisipol UGM pada Sabtu, 17 Oktober 2015.
Komentar Arie ini berkaitan dengan penetapan Sekretaris Jenderal NasDem Patrice Rio Capella sebagai tersangka di kasus gratifikasi dalam kasus korupsi bantuan sosial Provinsi Sumatera Utara yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi.
Menurut Arie, fakta tersebut menguatkan gejala yang terus meluas di masa pasca- reformasi, yakni diskoneksi antara imajinasi elite politik dengan realitas sosiologis di masyarakat. Fenomena ini menjadi sinyal buruk bagi demokrasi Indonesia karena partai-partai besar bisa mengalami kebangkrutan. "Ini harus jadi titik koreksi. Pertaruhan masa depan demokrasi Indonesia ada di peningkatan kualitas kerja partai."
Penjelasan Arie soal NasDem itu dikaitkan dengan kesimpulan riset disertasi yang baru dirampungkannya untuk meraih gelar doktoral di Fisipol UGM. Dia barus saja lulus dengan predikat cumlaude setelah menjalani ujian disertasi berjudul "Ideologi Politik dan Basis Sosial, Studi tentang Keterbatasan Ideologi dalam Perluasan Dukungan Partai Kiri PRD dan Partai Islam PK(S) di Era Pasca Orde Baru."
Menurut dia, tema disertasinya merupakan refleksi mengenai pentingnya ideologi sebagai basis nilai partai politik untuk perbaikan demokrasi. Selama ini semua partai politik terjebak pragmatisme untuk untuk sekedar mendulang suara pemilih sehingga membuat ideologi menjadi hanya sebatas jargon. “Kayak bilang antikorupsi, tapi omong doang,” ujar dia.
Dia berpendapat, pasca orde baru runtuh belum ada partai yang serius mempraktekkan perjuangan ideologi dan berhasil membuatnya mengakar di kesadaran masyarakat. Akibatnya, belum ada partai yang sukses menggalangan dukungan rakyat atas dasar kesamaan orientasi ideologi sebagai basis nilai dalam berpolitik. "Studi sosilogi politik yang mengarahkan (strategi penguatan) ideologi partai jadi penting saat ini," kata Arie.
Meskipun demikian, pernah ada dua partai, Partai Rakyat Demokratik dan Partai Keadilan, yang kemudian menjadi Partai Keadilan Sejahtera, pernah dirintis dengan orientasi ideologis yang serius. Alasan tersebut menyebabkan Arie mengambil fokus studi ke sejarah perkembangan dua partai itu di disertasinya. Dia menilai dua partai ini sama-sama muncul pascareformasi, dibangun oleh kelompok aktivis intelektual yang ideologis dan mengikuti sistem elektoral.
Akan tetapi, menurut Arie, sekalipun dibangun dengan orientasi ideologis yang kuat di awal perkembangannya, dua partai tersebut gagal menanamkan imajinasi politiknya di kesadaran masyarakat. "Sejarah PRD dan PKS memberikan pelajaran berharga," kata dia.
Dalam kasus PRD, sumber daya yang minim dan kuatnya stereotip negatif ke ideologi kiri di tengah masyarakat Indonesia, yang ditanamkan oleh rezim orde baru, membuat partai ini kesulitan berkembang. Arie juga menyimpulkan PRD gagal menemukan basis sosial pendukung karena mayoritas penggeraknya ialah aktivis intektual berhaluan kiri yang sebenarnya kelas menengah.
Isu radikal populer partai ini pun sulit teresonansi ke masyarakat kelas bawah karena pengusungnya sebenarnya tidak berposisi sebagai korban langsung dari penindasan struktural sistem produksi kapitalistik seperti kelompok buruh, petani, dan orang miskin.
Adapun PKS, yang dirintis oleh alumnus universitas Timur Tengah dan menyerap gagasan ideologis Ikhwanul Muslimin, berkembang melewati sejumlah pemilu, tapi lalu mengalami stagnasi. Arie menjelaskan ideologi Islam politik sulit menemukan basis sosial pendukungnya sebab relasi keislaman masyarakat Indonesia, dalam derajat tertentu, lebih dekat ke wilayah kebudayaan ketimbang ikatan formal berbasis syariah.
Masalah inilah yang mendorong PKS secara pragmatis berkompromi dengan realitas elektoral yang hanya menuntut persyaratan prosedural ketimbang kualitas ideologi dan demokrasi. Akibatnya PKS, sebagaimana partai politik lain di Indonesia yang berhasil mendulang suara di pemilu, terjebak dalam masalah elitisasi demokrasi dan oligharki. Kasus korupsi yang menyeret banyak elite partai ini akhirnya semakin memudarkan orientasi ideologinya.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM