TEMPO.CO, Jayapura - Hendak meliput aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh Solidaritas Korban Pelanggaran (SKP) HAM Papua, seorang wartawan tabloidjubi.com mendapat penganiayaan dari anggota polisi yang hendak membubarkan massa demo tersebut.
Massa pendemo melakukan orasi di depan Kantor Pos Abepura, Kamis, 8 Oktober 2015. Selagi orasi, dua mobil truk milik Polres Jayapura datang dengan tiba-tiba dan langsung melakukan pembubaran dengan paksa tanpa ada negosiasi terlebih dahulu dengan para demonstran.
Pembubaran massa pendemo dipimpin langsung oleh Wakapolres Jayapura Kota Komisaris Polisi (Kompol) Albertus Andreana.
Abeth You, wartawan tabloidjubi.com yang mendapatkan intimidasi, menjelaskan ia awalnya melihat para mahasiswa dari Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Fajar Timur yang kebetulan merupakan massa aksi dipukul dan ditarik oleh aparat kepolisian. Abeth dengan spontan mengambil kamera untuk mengabadikan momen tersebut.
Namun tiba-tiba seorang anggota polisi datang menghampirinya dan mengambil kamera dari tangannya. “Saya sempat mengatakan bahwa saya adalah wartawan, tapi tidak diindahkan oleh polisi tersebut. Dia langsung menghapus semua foto yang sempat saya ambil,” kata Abeth You kepada Jubi.
Abeth You menambahkan dirinya juga sudah mengeluarkan kartu pers sebagai identitas diri bahwa dirinya adalah wartawan. Namun aparat polisi tidak mengindahkannya. “Wartawan-wartawan apa?” kata polisi tersebut yang ditirukan oleh Abeth You.
“Saya juga sempat dicekik dan ditodong dengan senjata serta disuruh naik ke dalam truk. Waktu kamera saya diambil, saya sempat bicara sama Wakapolres kenapa kamera saya diambil, saya ini kan wartawan, tetapi tidak dihiraukan oleh Wakapolres,” ujar Abeth You.
Setelah semua foto dihapus oleh anak buahnya baru Wakapolres datang menemui Abeth You dan meminta maaf atas perlakuan anak buahnya. "Saya tidak terima maafnya. Yang mau saya tanyakan apa salah saya sampai mau rampas semua atribut yang saya kenakan sebagai seorang jurnalis?” kata Abeth You.
Victor Mambor, pemegang sertifikat ahli pers Dewan Pers, menyebutkan praktek seperti ini sering terjadi pada wartawan-wartawan asli Papua. Selama ini, kata Mambor, kalau wartawan asli Papua meliput demo, selalu dianggap sebagai pendemo dan diperlakukan dengan kasar, walaupun sudah menunjukkan kartu identitas kewartawanan mereka.
“Ini diskriminasi. Polisi adalah aparat penegak hukum, tapi kok tidak tahu hukum?” tanyanya.
Mambor mengatakan UU Pokok Pers Tahun 1999 Pasal 4 ayat tiga jelas menyebutkan “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi,”.
“Dan Pasal 8 ayat 1 berbunyi, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah),” ujar Mambor.
Menurut Mambor, polisi harus lebih profesional dalam menangani aksi demonstrasi massa. Jangan membubarkan seenak hati, menganiaya orang dan menangkap orang.
“Dalam kasus ini polisi adalah pihak yang dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi praktek jurnalistik. Penegak hukum itu harus tahu hukum,” kata Mambor lagi.
Di tempat terpisah, Wakapolres Jayapura Kota Kompol Albertus Andreana di hadapan massa pendemo yang melakukan pertemuan di ruang pertemuan Polsek Abepura mengatakan bahwa apa yang dilakukan pihaknya adalah masalah miskomunikasi.
“Ini hanya masalah miskomunikasi. Memang ada surat masuk, tetapi tidak menyertakan jumlah massa yang turun ada berapa. Saya secara pribadi meminta maaf kepada pihak pendemo atas apa yang telah terjadi. Sebagai polisi, kami akan melakukan pembenahan ke dalam atas kasus ini,” ujar Albertus Andreana.
Dalam pertemuan tersebut Olga Hamadi dari KontraS Papua mengatakan bahwa apa yang dilakukan massa pendemo tidak anarkis. “Seharusnya ada yang namanya negosiasi antara pihak aparat keamanan dengan massa pendemo. Bukan datang langsung main pukul, dan menahan orang dengan sembarangan," kata Olga.
Massa tidak melakukan aksi anarkis, kata Olga, malah pihak kepolisian-lah melakukan tindakan anarkis. "Untuk itu, saya minta kepada pihak kepolisian untuk mengubah sikap dan instropeksi diri agar hal ini jangan sampai terulang lagi,” katanya dalam pertemuan tersebut."
TABLOIDJUBI.COM