TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Brawijaya Malang, Astrida Fitri Nuryani, mengatakan cara penulisan media Tempo.co dan Jakarta Post mirip dengan gaya tulisan The Guardian. “Mereka sama sama menekankan latar belakang pelaku teroris,” katanya dalam pembicaraan bertema Media dan Terorisme di Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta, Selasa 8 September 2015.
Menurutnya, dalam beberapa artikel yang bercerita tentang teroris, baik Tempo maupun Jakarta Post lebih banyak menulis tentang latar belakang pelaku. Kedua media itu tidak menulis secara langsung kata teroris, namun menekankan pada latar belakang si pelaku yang biasanya berasal dari pesantren. “Dalam tulisan mereka tidak menulis bahwa Islam itu teroris, namun tersirat bahwa tindakan radikal yang terjadi itu akibat Islam yang radikal,” kata Astrid.
Astrid mengaku sering kali membaca berita di kedua media. Hasilnya, Tempo.co, Jakarta Post, terlalu fokus pada latar belakang pelaku teror itu berasal dari sekolah agama Islam. “Padahal, tersangka pembunuhannya belum diketahui pasti,” katanya.
Menurut Astrid, ada dampak negatif dengan kedua media itu terlalu menonjolkan latar belakang pelaku, khususnya yang diduga berasal dari pesantren. “Tulisan itu akan membuat para orang tua enggan memasukkan anak anaknya ke pesantren karena takut menjadi teroris,” katanya. Hal itu. kata Astrid, didukung oleh pembaca Tempo.co dan Jakarta Post yang sangat besar, sehingga bisa memberikan dampak yang luas.
Tulisan seperti itu juga bisa memberi dampak kekhawatiran para orang tua akan bertambah bila mengizinkan anaknya ikut dalam berbagai kegiatan keagamaan. “Padahal belum diketahui tersangka yang diduga teroris ini apakah benar anak pesantren atau hanya mengaji online,” katanya.
Astrid menyarankan agar pemberitaan Tempo.co dan Jakarta Post bisa lebih memberikan sudut pandang yang beragam. Ia mencontohkan, bisa saja para wartawan kedua media menulis tentang kondisi berbagai pesantren di Indonesia. “Kan pesantren di Indonesia banyak ragamnya,” katanya. Atau menulis tentang motif si pelaku teror serta latar belakang terorisme yang dilakukannya itu.
Ia pun mengusulkan agar media, terutama Tempo.co dan Jakarta Post bisa menulis tentang pandangan terorisme dari para pemuka agama. “Masih banyak pemuka agama yang tidak pernah ditanya pendapatnya tentang terorisme atau perdamaian. Padahal kan itu perlu untuk menjaga kesatuan,” katanya.
Kepada masyarakat, Astrid pun menyarankan agar bisa membaca informasi lebih luas. Diharapkan agar masyarakat bisa mencerna informasi khususnya tentang terorisme dari berbagai sumber. “Seperti belajar agama saja, kan sumbernya perlu banyak,” katanya.
MITRA TARIGAN