TEMPO.CO, Semarang - Advokat di Jawa Tengah membentuk jaringan untuk menangani kasus ketenagakerjaan yang dialami jurnalis. “Kami siap membantu mendampingi jika ada jurnalis yang terkena kasus ketenagakerjaan,” kata Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Jawa Tengah Kahar Muamalsyah dalam acara Pelatihan Advokasi Kasus Ketenagakerjaan Pekerja Media di Semarang, Ahad malam, 23 Agustus 2015.
Sekitar 20 orang yang terdiri dari jurnalis dan advokat bertemu membahas kasus-kasus ketenagakerjaan pekerja media pada pelatihan itu selama dua hari yang berakhir pada Ahad malam, 23 Agustus 2015. Mereka berasal dari beberapa daerah, seperti Semarang, Solo, Purwokerto, dan Yogyakarta.
Kahar menyatakan persoalan ketenagakerjaan pekerja media sangat banyak. Seperti kasus pemutusan hubungan kerja yang sewenang-wenang dan tak sesuai prosedur. Pekerja media di-PHK begitu saja tanpa diberi hak pesangon. Kasus lain, kata Kahar, tak jelasnya status ikatan kerja jurnalis, seperti kontributor, koresponden, hingga tenaga kerja kontrak pekerja media yang berlangsung lebih dari dua tahun. Ada juga pekerja media yang masih menerima gaji di bawah standar upah minimum kabupaten/kota (UMK) hingga tak mendapatkan jaminan kesehatan.
Kahar menyatakan sudah beberapa kali mendampingi kasus ketenagakerjaan pekerja media. Misalnya, kasus PHK pekerja media Harian Semarang. Hingga sampai di kasasi Mahkamah Agung, putusan pengadilan memerintahkan agar perusahaan Harian Semarang membayar pesangon ke 12 jurnalis. Namun hingga kini sengketa belum selesai karena pengusaha tidak menaati putusan pengadilan.
Advokat dari Lembaga Pengabdian Hukum (LPH) YAPHI Surakarta Yusuf Suramto menyatakan banyak celah yang bisa digunakan untuk menggugat jika ada kasus ketenagakerjaan jurnalis. Ia mencotohkan jika masih ada jurnalis yang mendapatkan upah di bawah standar UMK, maka itu jelas melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Sukarman dari Fakultas Hukum Universitas Stikubank menyatakan agar posisi jurnalis bisa lebih kuat di hadapan pengusaha, maka para jurnalis bisa berfungsi sebagai paralegal. “Mereka bisa mengorganisir dan berserikat untuk merapatkan barisan menuntut hak-haknya,” kata Sukarman.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI) Abdul Manan menyatakan kesadaran pekerja media di Indonesia untuk mendirikan serikat pekerja masih sangat rendah. “Dari 2.338 perusahaan media di Indonesia, hanya ada 40 perusahaan media yang pekerjanya sudah memiliki serikat pekerja,” kata Abdul Manan saat menjadi pembicara pada acara yang sama.
Manan menambahkan, dari jumlah 40 serikat pekerja itu juga sudah banyak yang kondisi keorganisasiannya kurang aktif, bahkan tidak aktif sama sekali. FSPMI pernah meriset yang menemukan serikat pekerja di sektor perusahaan media yang aktif hanya 25 serikat pekerja. “Serikat pekerja yang aktif ini hanya ada di beberapa kota, seperti Jakarta, Solo, Semarang, Bandung dan Yogyakarta.
ROFIUDDIN