TEMPO.CO, Yogyakarta - Penambang pasir di sepanjang Sungai Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, mendesak pemerintah agar mempermudah proses perizinan. Seorang penambang, Sumiyanto, mengeluhkan sulitnya mendapat izin penambangan. Padahal selama proses pengajuan izin berlangsung, pemerintah tetap memungut pajak dari para penambang.
“Kami membayar pajak ke pemerintah, dari Rp 400 ribu hingga Rp 500 ribu per bulannya,” kata Sumiyanto yang juga menjabat Ketua Kelompok Usaha Bersama Penambangan Pasir ‘Guyup’ Kulonprogo itu, Kamis siang, 13 Agustus 2015.
Baca Juga:
Bersama ratusan penambang pasir Sungai Progo dari Kabupaten Sleman dan Bantul, Sumiyanto menggelar protes di halaman gedung DPRD DIY. Selain mendesak kemudahan proses perizinan, mereka juga meminta pemerintah menunda razia dan penyitaan alat penambangan. “Alat-alat penambangan kami sekarang sudah disita,” kata dia.
Kelompok usaha bersama ini beranggota sebelas orang dan menambang sejak enam bulan lalu. Mereka menambang pasir Sungai Progo di lahan seluas seribu meter persegi di Dusun Pengkol Desa Gulurejo, Lendah. Dia mengklaim, proses penambangan berlangsung tanpa menggunakan alat berat. “Kami hanya pakai pompa penyedot,” katanya.
Beberapa bulan sebelum penyitaan alat penambangan, kata dia, kelompok usaha ini telah mengajukan izin penambangan ke Kabupaten Kulonprogo. Tapi pengajuan itu langsung ditolak oleh pemerintah. Proses penolakan izin ini justru memunculkan pertanyaan dari penambang. “Kalau memang tidak boleh menambang, kenapa selama ini kami dipungut pajak,” katanya.
Selama demonstrasi di halaman gedung DPRD DIY berlangsung, para penambang secara bergantian melakukan orasi. Tak satu pun anggota Dewan muncul menemui penambang. Namun siang ini, mereka dikabarkan akan bertemu dengan perwakilan dari pemerintah di Kepatihan, kompleks kantor pemerintah DIY.
ANANG ZAKARIA