TEMPO.CO, Yogyakarta - Inspektorat Kota Yogyakarta menyatakan pegawai negeri di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta belum berani bertindak sebagai pelapor adanya dugaan upaya tindak korupsi. Sejak diluncurkan setahun lalu, program whistle blower system dinilai tidak berjalan. Para pegawai belum memanfaatkan sistem tersebut untuk mengawasi sekaligus melaporkan adanya upaya tindakan korupsi di lingkungan pemerintah.
Menurut Inspektorat Kota Yogyakarta Wahyu Widayat, tidak berjalannya whistle blower system tersebut karena tidak adanya dukungan yang memadai bagi para pelapor. Karena menghadapi sejumlah risiko, menurut dia, selayaknya ada kompensasi yang diberikan kepada pegawai negeri yang berani sebagai pembocor informasi atas adanya upaya korupsi. “Perlu diusulkan anggaran kompensasi bagi mereka yang berani menjadi whistle blower, sehingga ada keberanian,” katanya Wahyu, Kamis 6 Agustus 2015.
Whistle blower system diluncurkan Pemerintah Kota Yogyakarta pada Desember tahun lalu menjelang peringatan Hari Anti-Korupsi. Sejumlah lembaga ikut mendukung pelaksanaan sistem tersebut, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Belakangan, sejumlah kasus korupsi yang melibatkan jajaran pegawai negeri di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta mulai menjadi sorotan publik. Misalnya pengadaan fasilitas peneduh pergola senilai Rp 5,3 miliar yang membuat Kepala Badan Lingkungan Hidup nonaktif, Irfan Saosilo, ditahan Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta. Demikian pula kasus dana bergulir program ekonomi wilayah yang menyeret seorang staf pegawai Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi.
“Sejauh ini pelapor dugaan penyimpangan di lingkungan birokrasi hanya berani bicara tanpa identitas melalui layanan aduan yang sulit ditindaklanjuti karena minim bukti,” ujar Wahyu. Layanan yang menampung aduan itu yakni Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan (UPIK) Kota Yogyakarta.
Inspektorat Kota Yogyakarta sedang mengupayakan cara lain dengan mengenalkan program Klinik Konsultasi Tata Kelola Keuangan kepada seluruh instansi agar tidak terjadi penyelewengan anggaran. “Para kepala dinas dan pejabatnya, bisa mengkonsultasikan lebih dulu proyek yang diduga rentan bermasalah agar tak berlanjut menjadi temuan,” ujar Wahyu.
Sebab, belajar dari kasus dugaan korupsi fasilitas peneduh pergola, Inspektorat mensinyalir, kasus tersebut muncul karena adanya ketidaktahuan birokrat atas proyek yang ditangani secara bersama dengan perusahaan rekanan. “Misalnya ketika terjadi spesifikasi tak sesuai standar, mereka malah membiarkan,” ujarnya.
Wakil Ketua Badan Anggaran DPRD Kota Yogyakarta M. Ali Fahmi tak setuju adanya kompensasi khusus bagi pelaku whistle blower di lingkungan birokrasi Kota Yogyakarta. DPRD menyatakan sulit untuk mengalokasikan anggaran khusus untuk kompensasi bagi para pembongkar kasus, karena tak ada aturan yang jadi landasan untuk alokasi anggaran tersebut.
PRIBADI WICAKSONO