TEMPO.CO, Jakarta - Kabar adanya pendidikan agama berbau radikalisme di SD Islam Asshafa, Depok, Jawa Barat, rupanya tidak terlampau mengejutkan para pegiat toleransi antar-umat beragama dan perlindungan untuk kaum minoritas. Salah satunya Ahmad Suaedy, peneliti isu agama yang juga merupakan salah seorang pendiri Wahid Institute.
Kabar itu, kata dia, sejalan dengan temuan lembaganya ihwal semakin banyaknya orang Indonesia yang bersimpati terhadap ajaran radikalisme. Bahkan, Suaedy menegaskan, kini jumlah pengikut gerakan Islam radikal ISIS di Tanah Air terus bertambah.
Menurut Suaedy, warga Indonesia yang terlibat dengan ISIS terdiri atas beberapa lapis. Lapisan yang paling banyak orangnya adalah simpatisan. “Mereka kebanyakan mendeklarasikan diri sebagai anggota ISIS, padahal hanya simpatisan,” ujar Ahmad saat dihubungi Tempo, Senin, 6 Juli 2015. “Mereka bilang sudah gabung dengan ISIS, tapi sebenarnya tidak ada relasi langsung dengan sana,” katanya.
Ahmad Suaedy mengkoreksi pandangan yang menyamakan gerakan ISIS dengan Al-Qaeda. “Kalau Al-Qaeda itu merekrut anggota untuk perang, sedangkan ISIS merekrut untuk membentuk negara. Sehingga, apa pun latar belakangnya, setiap orang bisa direkrut untuk bergabung dengan ISIS,” katanya.
“Yang namanya negara kan butuh apa saja, enggak cuma orang-orang militer, tapi juga orang-orang yang paham dengan administrasi, hukum, dan lain sebagainya, yang dibutuhkan negara,” katanya. Karena itulah, kata Suaedy, siapa saja dengan latar belakang apa pun bisa bergabung dengan ISIS. “Apalagi ada iming-iming (gaji besar), sehingga banyak yang mau daftar lowongan pekerjaan tersebut,” ujarnya.
Suaedy mengimbau masyarakat Indonesia untuk lebih berhati-hati dalam melihat lowongan pekerjaan. “Jika ada informasi lowongan kerja di Timur Tengah, warga harus memastikan dulu apakah itu informasi resmi dari pemerintah atau tidak, agar tidak terjerumus,” kata Suaedy.
Baca penjelasan Kepala SD Islam Terpadu Asshafa, Tomi Rohili, di sini.
DIAH HARNI SAPUTRI