TEMPO.CO, Palembang - Produksi minyak mentah di Sumatera Selatan (Sumsel) tidak seperti masa jayanya pada dekade tahun 1980an silam. Ketika itu melalui PT Pertamina (Persero), ladang di Sumsel merupakan salah satu tempat produksi yang bisa menjadi andalan negara. Namun saat ini produksinya dari waktu ke waktu terus turun.
Kepala perwakilan Sumsel Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas, Tirat Sambu Ichtijar, mengatakan persoalan lahan merupakan salah satu penyebab turunnya angka produksi.
"Lahan sebagai pijakan alat produksi makin sulit didapat," kata Tirat, Rabu, 1 Juli 2015. Menurut Tirat, persoalan tersebut sudah dicoba untuk dicarikan jalan keluarnya. Namun tetap belum bisa meningkatkan angka produksi harian.
Dalam catatannya, produksi minyak rata-rata di Sumsel mencapai 72 ribu barrel per hari. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya, Sumsel bisa menghasilkan 75 ribu barrel per hari.
Saat ini harga lahan di Sumsel semakin mahal sebagai tingginya kebutuhan lahan untuk industri perkebunan karet dan sawit. Persoalan lainnya juga muncul, KKKS harus berhadapan dengan aksi premanisme dari oknum tertentu sehingga ongkos produksi makin tinggi.
Untuk itu kata Tirat, dalam beberapa tahun belakangan ini, SKK Migas meminta pelaku pengeboran untuk menggunakan sistem cluster. "Jadi pengeborang dengan pipa miring untuk menjangkau area yang diatasnya tidak bisa kita masuki."
ConocoPhillips Indonesia merupakan salah satu Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang beroperasi di Sumatera Selatan. Salah satunya berlokasi di Grissik dan Suban, Musi Banyuasin.
Vice President Development and Relations ConocoPhillips Indonesia, Joang Laksanto, mengatakan pihaknya juga pernah merasakan berbagai hambatan ketika menjalankan masa produksi seperti yang disampaikan oleh SKK Migas. "Hambatan pasti akan berpengaruh pada produksi," kata Joang.
PARLIZA HENDRAWAN