TEMPO.CO, Malang - Jumlah perempuan yang mendaftar sebagai calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi minim. Dari total 167 pendaftar, hanya ada sepuluh perempuan. "Meski sembilan anggota Panitia Seleksi Pimpinan KPK perempuan, sangat kecil perempuan yang mendaftar. Kita tak bicara gender," kata Ketua Pansel Pimpinan KPK Destry Damayanti, Jumat, 19 Juni 2015.
Menurut Destry, tidak ada kuota perempuan dalam pendaftaran calon pemimpin KPK. Sepuluh pendaftar perempuan itu tak dipaksakan masuk daftar pemimpin KPK. Namun, berdasarkan masukan banyak pihak, dibutuhkan sentuhan perempuan dalam penanganan kasus oleh KPK, yakni kemampuan mengendalikan emosi.
Awal pendaftaran dibuka, setiap hari ada sepuluh pendaftar. Belakangan, setiap hari yang mendaftar sekitar 25 orang. Sedangkan sebagian besar pendaftar berprofesi sebagai advokat dan ahli hukum, disusul pegawai negeri sipil dan wiraswasta. Dengan rata-rata pendidikan sarjana dan pascasarjana. Mereka rata-rata berusia 55 tahun. "Usia yang matang," ucapnya. Pendaftaran ditutup 24 Juni mendatang.
Menurut Destry, kejahatan korupsi semakin canggih melalui perbankan dan pasar modal. Jadi komisioner KPK ke depan tak hanya ahli hukum, tapi juga ahli ekonomi, agar saling melengkapi. Praktek korupsi, ujar dia, terjadi sejak lama. Bahkan, pada 1980-an, kebocoran investasi mencapai 30 persen. "Korupsi makin parah. Tantangannya semakin berat," tuturnya.
Pansel, kata dia, telah menemui berbagai pihak untuk menerima masukan, di antaranya dari kelompok agama, pimpinan media, masyarakat antikorupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, Badan Intelijen Negara, dan perguruan tinggi.
Pansel berkoordinasi dengan lembaga negara untuk mengetahui bagaimana model kerja sama KPK selama ini dan bagaimana langkah ke depan. "Butuh pimpinan KPK yang kredibel dan negarawan," ucapnya. Yakni orang yang secara penuh fokus pada pemberantasan korupsi. Tujuannya, menyelamatkan uang negara.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Tri Sasongko menjelaskan, Pansel lebih agresif bekerja. Sedangkan pelemahan terhadap KPK terus terjadi. "Korupsi sekarang lebih dahsyat," ujarnya.
Menurut dia, indeks persepsi korupsi Indonesia hanya lebih baik daripada Kamboja, Myanmar, dan Vietnam. Sektor yang rawan korupsi, tutur dia, meliputi peradilan sebesar 66 persen, polisi 75 persen, perizinan dan catatan sipil, serta administrasi pertanahan. "Suap dan korupsi di sektor publik tinggi," katanya.
Sedangkan posisi Indonesia selevel dengan Argentina, Albania, Equator, dan Ethiopia. Dalam indeks persepsi korupsi, dalam skor 0-100, Indonesia mendapat skor 34. Sedangkan Singapura memperoleh skor 84. Ke depan, ucap dia, KPK harus menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi. Meski akan menimbulkan ketegangan di kejaksaan dan kepolisian.
"Membenahi sistem integritas di swasta dan publik juga penting," ujarnya. Untuk itu, pembenahan dan pendidikan antikorupsi harus dilakukan sejak dini mulai di lingkungan pendidikan. Namun kenyataannya, tutur dia, para pelajar mulai melakukan suap kepada polisi untuk menghindari tilang. "Ada pula pelajar yang membayar untuk dapat nilai bagus. Ini peringatan," katanya.
EKO WIDIANTO