TEMPO.CO, Jakarta - Hakim Martin Ponto Bidara menggugurkan permohonan praperadilan yang diajukan tersangka korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi, Suroso Atmomartoyo. Martin menganggap permohonan tersebut otomatis gugur karena perkara korupsi mantan Direktur Pengolahan PT Pertamina itu sudah disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
"Permohonan praperadilan ini harus dinyatakan gugur karena perkara sudah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor pada 1 Juni 2015," kata Martin, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin, 15 Juni 2015.
Menurut Martin, ketentuan tersebut diatur di dalam Pasal 82 ayat 1 huruf d Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Beleid ini berbunyi, dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur. "Majelis hakim Pengadilan Tipikor telah menentukan sidang di Pengadilan Tipikor serta memerintahkan penuntut umum menghadapkan terdakwa Suroso," kata dia.
Kuasa hukum KPK Nur Chusniah merasa lega dengan keputusan hakim tersebut. "Putusan hakim sudah sesuai harapan kami. Bicara secara yuridis saja, pengguguran itu memang diatur KUHAP," kata Nur Chusniah seusai sidang.
Pengacara Suroso, Jonas Sihaloho, keberatan dengan keputusan itu. Ia menilai KPK terburu-buru melimpahkan berkas perkara ke pengadilan korupsi agar permohonan praperadilan kliennya otomatis gugur. "Biasanya pelimpahan dari KPK ke pengadilan memakan waktu seminggu, tapi kali ini cuma satu hari kerja. Tak biasanya KPK melakukan itu," kata Jonas. Meski keberatan, Jonas tetap menghormati putusan praperadilan.
Adapun sidang perdana kasus Suroso di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dimulai, Kamis, 11 Juni lalu. Namun hakim menunda persidangan ini selama sepekan karena Suroso tak didampingi pengacara. KPK menetapkan Suroso sebagai tersangka korupsi sejak November 2011. Ia diduga menerima suap dari perusahaan kimia asal Inggris, Innospec Limited.
Suap itu diduga untuk memperlancar penundaan penerapan bensin bebas timbel di Indonesia, yang perencanaannya dicanangkan sejak 1999 dan baru terealisasi 2006. Padahal, penerapan bensin bebas timbel ditargetkan terealisasi paling lambat Januari 2003.
Kasus ini terbongkar ketika lembaga antikorupsi Inggris, Serious Fraud Office, menggugat Innospec di Pengadilan Southwark Crown, Inggris. Dalam gugatan itu, Suroso bersama mantan Direktur Jenderal Minyak dan Gas, Rahmat Sudibyo, diduga menerima Rp 2,7 miliar dari perusahaan Innospec Limited.
Suroso bersama mantan Wakil Direktur Utama Pertamina Mustiko Saleh juga terungkap pelesir ke Inggris pada 2005 dengan biaya Innospec. Di dalam sidang itu, petinggi Innospec, David Turner, dijatuhi hukuman membayar denda Rp 112,3 miliar setelah mengaku menyuap.
Pengadilan Inggris juga memutuskan Innospec bersalah dan wajib membayar denda US$ 12,7 juta. Dari persidangan ini terungkap jika sejak 14 Februari 2002 hingga 31 Desember 2006, Innospec membayar US$ 11,7 juta kepada agen-agen yang kemudian disetor kepada staf Pertamina dan pejabat lainnya di Indonesia agar mendukung pembelian bensin bertimbel.
Hasil persidangan itulah yang ditindaklanjuti oleh KPK. Meski nama Sudibyo dan Mustiko ikut terungkap dalam sidang di Inggris itu, keduanya belum dijadikan tersangka oleh KPK. Selain Suroso, bos PT Soegih--agen resmi Innospec di Indonesia sejak 1982--bernama Willy ikut dijadikan tersangka di KPK. Kasus Willy mulai bergulir di pengadilan korupsi.
MUHAMAD RIZKI