TEMPO.CO, Jakarta -Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Adi Toegarisman memaparkan dua alasan mantan Direktur Perusahaan Listrik Negara Dahlan Iskan menjadi tersangka dugaan korupsi proyek pembangunan gardu listrik Jawa-Bali-Nusa Tenggara 2011-2013. Dahlan sebagai kuasa pengguna anggaran dinilai turut mengetahui dan menyetujui dua kejanggalan proyek yang sebelumnya menjerat 15 orang sebagai tersangka.
"Ini kasus yang harus dilihat secara utuh, tak bisa hanya dilihat personal saja," kata Adi, Jumat, 5 Juni 2015.
Dua kejanggalan yang menjadi kesimpulan korupsi dalam kasus tersebut adalah pengajuan proyek dengan sistem multiyears dan pembayaran dengan sistem material on side.
Adi memaparkan, penyidik menemukan, proyek gardu listrik tersebut seharusnya tak bisa diajukan ke Kementerian Keuangan dalam anggaran multiyears karena PLN nyatanya belum memiliki atau mampu membebaskan lahan lokasi 21 gardu induk. Dahlan ditemukan memberikan klaim palsu telah memiliki seluruh tanah kepada Kemenkeu agar anggaran disetujui. "Tiga kali diajukan dengan menyatakan tanah dalam proses tetapi Kemenkeu menolak. Saat pengajuan keempat, KPA bilang tanah sudah siap padahal sama sekali tak ada," kata Adi.(baca:Dahlan Iskan Jadi Tersangka Dugaan Korupsi Gardu Induk)
Seharusnya, Dahlan menyertakan bukti pengambilalihan lahan dalam berkas pengajuan anggaran multiyears. Akan tetapi, saat pengajuan keempat, berkas tersebut tak ada dan diganti dengan surat pernyataan soal penyelesaian ambil alih lahan oleh PLN sesuai perintah Dahlan. Kemenkeu akhirnya menyetujui pengajuan anggaran tersebut. "Semua pihak (termasuk menteri keuangan) jika terkait pasti akan kami periksa," kata Adi.
Kedua, menurut dia, penyidik menilai proyek tersebut seharusnya pengadaan konstruksi yang pembayarannya berdasarkan progres atau kemajuan pembangunan gardu. Akan tetapi, PLN justru mengajukan dan membayarkan uang kepada rekanan berdasarkan pembelian barang yang dilakukan. "Uangnya sudah dicairkan bahkan hingga termin satu dan dua atas pembelian barang tanpa ada progres pembangunan," kata dia.
Berdasarkan temuan penyidik di lapangan, Adi menyatakan, tujuh dari 21 titik proyek tak ada pembangunan sama sekali karena lahan belum dibebaskan seperti di Cilegon, Kadipaten, dan Nyiur Sanur. Hanya lima titik yang benar-benar selesai, sedangkan 13 sisanya masih bermasalah serta tak berfungsi. "Uang negara keluar tapi tak ada manfaatnya. Tak bisa berfungsi," kata Adi.
Soal kerugian negara, ia juga menyatakan, kejaksaan masih menunggu hasil penghitungan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan. Meski demikian, penyidik dapat menduga adanya puluhan miliar yang terbuang sia-sia dalam pembangunan satu gardu induk. "Meski berbeda-beda nilai proyek gardunya, setidaknya dua gardu nilainya mencapai Rp 30 miliar," kata dia.
FRANSISCO ROSARIANS