TEMPO.CO, Atambua - Kemampuan membaca anak-anak usia sekolah dasar di wilayah Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, memerlukan perhatian khusus. Sebagian dari mereka yang tinggal di daerah dekat perbatasan Timor Leste itu mengalami kesulitan membaca. Salah satunya disebabkan oleh minimnya kemampuan berbahasa Indonesia. “Kesadaran orang tua terhadap pendidikan anak juga rendah,” kata Manager Program Save the Children - Atambua Field Office, Harun Anggo, di Lamaknen, Belu, Selasa, 26 Mei 2015.
Menurut dia, anak-anak itu perlu dibantu untuk meningkatkan kemampuan membaca. “Mereka perlu diintervensi,” ujarnya. Maka itu, Save Children punya beberapa program peningkatan kemampuan membaca anak-anak sekolah dasar di provinsi itu, salah satunya di Lamaknen. Mereka berfokus di kelas 1-3 SD. Namun ada pula kabupaten yang menjadi lokasi program itu pendampingan dilakukan terhadap anak-anak mulai tingkat PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Ia menambahkan, persoalan keterbatasan kemampuan membaca ini juga terjadi di daerah lain di NTT.
Mereka melakukan pendampingan dengan melatih guru, relawan, siswa, hingga membentuk kelompok-kelompok membaca (reading camp) di banyak tempat di wilayah Belo. Kini ada sekitar 60 sekolah yang telah didampingi di wilayah itu. Menurut Harun, mereka menargetkan bisa menjangkau 80 sekolah pada 2016.
Maka, Festival Membaca yang mereka adakan di Lamaknen pada 26-27 Mei 2015 merupakan bagian upaya mengukur kemampuan membaca anak-anak yang mereka dampingi. Festival yang dibuka pada 26 Mei oleh Asisten Administrasi Sekretariat Daerah Belu, Ulu Emanuel, itu melibatkan lebih 300 siswa kelas 1-3 dari 26 SD di kabupaten itu. Acara tersebut menyuguhkan beragam kegiatan seperti lomba bercerita, menyusun huruf, membaca secara ekspresif dan lomba baca puisi.
Benny Giri, Koordinator Program BELAJAR (Better Literacy for Academic Result) dari Save The Children, mengatakan pihaknya pernah melakukan penilaian komprehensif atau studi terhadap 674 siswa kelas dua dari 35 sekolah dasar terpencil di Belu pada 2012. Dari situ, mereka menemukan 25 persen anak-anak tidak dapat membaca 20 kata-kata umum, 49 persen tidak dapat membaca kata-kata dari kalimat sederhana yang terdiri dari 100 kata. Lalu, 61 persen tidak dapat membaca atau menjawab pertanyaan dan memahami teks yang mereka baca.
Asisten Administrasi Sekretariat Daerah Belu, Ulu Emanuel, mengakui ada siswa yang punya keterbatasan dalam kemampuan membaca. “Ada anak-anak Belu yang diekspose tamat SD tidak bisa membaca. Itu ada, tapi kasus. Rata-rata mereka sudah bisa membaca,” ujar Ulu. Menurut dia, data buta huruf di daerahnya sudah berada di bawah lima persen dari 231 ribu penduduk Belu. Itu pun terjadi pada orang-orang berusia lanjut.
Adapun Camat Lamaknen, P.H. Mau Leto, mengatakan persoalan pendidikan di wilayah itu adalah sumber daya manusia, termasuk masyarakat yang kesadarannya minim untuk mendukung pendidikan anaknya. Persoalan lain adalah guru, terutama untuk sekolah dasar. “Di daerah-daerah terpencil anak tamat SMA terpaksa mengabdi menjadi guru,” ujarnya.
Adapun jarak tempuh anak-anak ke sekolah tidak persoalan lagi. Sebab, menurut dia, di banyak tempat sudah ada sekolah dasar.
MUSTAFA ISMAIL