TEMPO.CO , Jakarta:Badan Pusat Statistik merilis data pada 2010 yang menyebut ada 1.128 suku di Indonesia yang tersebar di lebih dari 17 ribu pulau. Keberagaman ini menjadikan Indonesia salah satu negara dengan budaya paling kaya. Di sisi lain, keberagaman juga dapat memicu konflik bila tak dijembatani dengan baik.
Tempo mencatat beberapa tragedi di Indonesia yang bersumber karena perbedaan budaya. Konflik itu tak hanya menelan korban materi namun juga menghilangkan nyawa ratusan orang.
1. Tragedi Sampit
Tragedi ini bermula dari konflik antara kelompok etnis Dayak dan Madura yang terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah. Tempo mencatat konflik bermula pada 18 Februari 2001 saat empat anggota keluarga Madura, Matayo, Haris, Kama dan istrinya, tewas dibunuh. Warga Madura lantas mendatangi rumah milik suku Dayak bernama Timil yang dianggap telah menyembunyikan si pembunuh. Massa meminta agar Timil menyerahkan pelaku pembunuhan itu. Karena permintaan mereka tidak dituruti, massa marah dan membakar rumah. Insiden malam itu dapat dihentikan polisi. Sayang, pembakaran terus meluas ke rumah-rumah lainnya.
Warga Dayak pinggiran Sampit pun mulai berdatangan, baik melalui darat maupun sungai. Etnis Madura dikejar dan dibunuh. Penduduk asli sepertinya tahu di mana kantong-kantong warga Madura berada. Tua-muda pria-wanita menjadi sasaran pembunuhan. Di beberapa ruas jalan, tampak bergelimangan tubuh korban tanpa kepala.
Sebagian besar warga dari etnis Madura harus diungsikan ke Jawa Timur dan Jawa Tengah. Korban bertambah dan sudah tidak bisa dihitung berapa rumah dan fasilitas umum yang terbakar. Diperkirakan korban jiwa mencapai angka 469 orang dalam konflik yang berlangsung selama 10 hari ini.
2. Konflik Maluku
Konflik ini adalah konflik kekerasan dengan latar belakang perbedaan agama yakni antara kelompok Islam dan Kristen. Konflik Maluku disebut menelan korban terbanyak yakni sekitar 8-9 ribu orang tewas. Selain itu, lebih dari 29 ribu rumah terbakar, serta 45 masjid, 47 gereja, 719 toko, 38 gedung pemerintahan, dan 4 bank hancur. Rentang konflik yang terjadi juga yang paling lama, yakni sampai 4 tahun.
3. Konflik 1998
Krisis ekonomi berujung menjadi konflik sosial pada penghujung Orde Baru. Jatuhnya Soeharto ditandai dengan merebaknya kerusuhan di berbagai wilayah di Indonesia. Pada kerusuhan tersebut, banyak toko dan perusahaan dihancurkan massa yang mengamuk. Sasaran utama adalah properti milik warga etnis Tionghoa.
Perempuan keturunan Tionghoa bahkan menjadi korban pelecahan dan pemerkosaan dalam kerusuhan itu. Banyak yang diperkosa beramai-ramai, dianiaya, lalu dibunuh. Di antara etnis Tionghoa, banyak yang meninggalkan Indonesia untuk mencari keselamatan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan 21 Mei sebagai Hari Dialog dan Keberagaman sejak 2002. Peringatan hari ini berawal saat UNESCO mengeluarkan Deklarasi Universal tentang Keberagaman Budaya. Melalui Resolusi Nomor 57/249, ditetapkanlah 21 Mei sebagai hari merayakan keberagaman di seluruh dunia.
PBB mencatat sebanyak 75 persen dari konflik besar yang terjadi di dunia saat ini berakar pada dimensi kultural. PBB pun mencanangkan dialog untuk menjembatani budaya demi menciptakan perdamaian. Tindakan sederhana yang disarankan PBB untuk merayakan keberagaman budaya antara lain mengunjungi pameran kebudayaan, mendengarkan musik dari kebudayaan berbeda, mengundang tetangga beda agama atau suku untuk makan bersama, atau menonton film yang berkisah seputar budaya berbeda.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA