TEMPO.CO , Makassar: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mengungkapkan Pulau Sulawesi termasuk daerah yang memiliki potensi tsunami, sehingga warga tetap harus waspada terhadap tanda tanda tsunami.
“Penyebab tsunami di Sulawesi, termasuk Sulawesi Selatan, adalah karena adanya patahan- patahan kecil,” kata Muhammad Karnaen, Staf Geofisika Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Wilayah IV Makassar saat sosialisasi informasi BMKG di Makassar, Kamis, 16 April 2015.
Karnaen mengatakan, tanda-tanda datangnya tsunami antara lain terjadi gempa kuat dengan getaran lebih dari satu menit, air laut surut secara mendadak, burung laut terbang ke darat, angin kencang dari arah laut, dan gelombang seperti tembok hitam yang mendekati pantai.
“Jangan seperti kejadian di Aceh. Karena air surut tiba-tiba, waktu itu banyak masyarakat yang berkumpul di pantai menangkap ikan. Tidak lama kemudian datanglah tsunami,” ujar Karnaen.
Menurut Karnaen, sejarah tsunami di Sulawesi Selatan yang pertama adalah saat terjadi gempa Tinambung yang terjadi pada 11 April 1967. Gempa itu menimbulkan tsunami yang menewaskan 58 orang, 100 orang luka luka, 13 orang hilang. Saat itu juga terjadi tanah longsor dengan intensitas gempa 7 sampai 8 MMI.
Kedua, gempa Majene yang menimbulkan tsunami pada 23 Februari 1969. Menyebabkan 64 orang meninggal, 97 orang luka luka, dan 1287 tempat tinggal dan masjid mengalami kerusakan. Dermaga pelabuhan pecah sepanjang 50 meter akibat gelombang laut setinggi 1,5 sampai 4 meter.
Ketiga, gempa Ulaweng Mamuju pada 8 April 1993 pada kedalaman 31 kilometer. “Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini,” kata Karnaen.
Kepala Sub Bidang Pelayanan Jasa BMKG Wilayah IV Makassar Sujarwo mengatakan untuk tindakan mitigasi, BMKG telah memanfaatkan jasa satelit agar satu jam sebelum terjadi tsunami, informasi sudah bisa sampai ke masyarakat melalui pesan singkat ke nomor telpon.
“Kami sekarang juga mengandalkan media dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah untuk meneruskan informasi cepat sampai ke masyarakat,” kata Sujarwo.
Menurut Sujarwo, untuk memperkuat data meteorologi BMKG telah mengusulkan agar peralatan informasi meteorologi ditambah. Misalnya alat automatic wheather station (AWS) dan automatic rain gauge (ARG). Karena saat ini jumlahnya hanya satu untuk setiap kabupaten, dengan kemampuan jangkauan hanya 5 sampai 10 kilometer.
Sebagai proyek percontohan penguatan peralatan, BMKG akan melakukannya di Kota Makassar. Rencananya, Makassar akan dibagi menjadi lima zona wilayah prakiraan, sehingga setiap zona bisa mencakup 2 sampai 3 kecamatan. “Mudah-mudahan tahun depan anggarannya disetujui,” ujar Sujarwo.
Menurut Sujarwo, untuk pengadaan alat-alat itu BMKG masih mengimpornya. Harga automatic rain gauge sekitar Rp 70 juta dan automatic wheather station sekitar 500 juta. “Kita punya produk serupa yang diciptakan anak dalam negeri, tapi masih berupa prototype. Sementara kami harus menggunakan alat yang sudah teruji kualitasnya,” kata Sujarwo.
MUHAMMAD YUNUS