ARS mengaku tidak pernah menjual sepeda motor hasil rampasannya. Setiap kali dapat rampasan, dia selalu menawarkan kembali kepada korbannya mau ditebus atau tidak. Untuk sepeda motor buatan ke atas tahun 2000, uang tebusan paling kecil Rp 2 hingga 3 juta. Baru, kata dia, Kalau korbannya tidak mau menebus, barang rampasan akan dijual ke penadah dengan rata-rata Rp 2 juta per unit. "Tapi kebanyakan korban pasti menebus," katanya.
Untuk berhubungan dengan korban begal tidaklah rumit. Kata ARS, para korban akan melapor kepada tokoh masyarakat di desa tempatnya beraksi untuk meminta bantuan mencarikan sepeda motor yang dirampas. "Si tokoh kemudian akan menyebar informasi kehilangan kepada tokoh-tokoh di desa lain, informasi itu kemudian diteruskan ke mantan begal di tiap desa, dari mereka inilah informasi itu akan sampai kepada saya, kemudian saya akan mengajukan besaran uang tebusan," jelas ARS tentang alur pencarian sepeda motor yang dibegal.
Agar bisa beraksi minimal empat sekali sepekan, ARS dan temannya selalu berpindah-pindah desa. Waktu beraksi adalah tengah malam hingga dini hari. Setiap beraksi minimal ARS mengajak empat temannya, untuk jaga-jaga kalau korban melawan. "Kalau korban sudah lapor polisi, saya gak akan ajukan tebusan, khawatir dijebak. Barang rampasan langsung dijual ke penadah atau warga biasa".
Wakil Kepala Polres Bangkalan, Komisaris Yanuar Herlambang mengatakan kasus kejahatan begal di Bangkalan meningkat. Dari bulan Januari hingga Februari 2015, polisi berhasil mengungkap 16 kasus pencurian dengan kekerasan dengan 18 tersangka. Para tersangka sudah lama masuk daftar target operasi polisi. "Meningkat dibanding tahun sebelumnya, tapi saya lupa data pastinya," katanya.
Yanuar tidak menampik adanya praktik tebus-menebus antara korban dan pelaku pembegala di Bangkalan. Bahkan, kata dia, kebanyakan korban, memilih meminta bantuan tokoh masyarakat ketimbang meminta bantuan polisi dalam hal urusan pembegalan. "Praktik semacam itu, salah satu penghambat polisi memberantas pelaku pembegalan," ungkapnya.
MUSTHOFA BISRI